Dalam satu minggu terakhir, publik dikejutkan dengan maraknya kasus keracunan dari makanan dalam ompreng proyek Makan Bergizi Gratis. Sampai hari ini, tercatat sebanyak 7.000 kasus keracunan akibat proyek ini. Melalui MBG, Prabowo memposisikan pangan sebagai komoditas populis dan kendaraan politik. Hal ini terbukti dari bagaimana ia menempatkan MBG dalam struktur logika kapitalisme Negara, dengan memasukkannya sebagai proyek strategis—karena akan menikmati berbagai kemudahan berinvestasi(1). Maka dari itu, alih-alih berbenah, dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi proyek, ia justru menyebutkan bahwa, “Kesalahan atau kekurangan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di seluruh Indonesia hanya 0,00017 % dari total penerima manfaat, baik siswa maupun ibu hamil.”(2) Pernyataan Prabowo menunjukkan narasi yang cenderung mengecilkan skala permasalahan serius dalam pelaksanaan proyek MBG. Padahal, hak anak untuk hidup sehat merupakan hak asasi manusia yang bersifat absolut dan tidak dapat ditawar. Kasus satu anak yang mengalami keracunan saja sudah cukup untuk dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Terlebih lagi, data yang menunjukkan jumlah korban keracunan mencapai 7.000 orang. Hal ini memperlihatkan bahwa persoalan keracunan bukan sekadar insiden individual, melainkan masalah sistemik yang harus segera ditangani secara menyeluruh dan bertanggung jawab.
Dalam konteks Hak atas Pangan dan Gizi (HaPG), terdapat empat dimensi normatif—sebagai operasional untuk memastikan dilaksanakan dan dipenuhinya HaPG, meliputi, ketersediaan, kelayakan, keterjangkauan, dan keberlanjutan(3). FIAN Indonesia menggunakan empat dimensi ini untuk menunjukkan, mengapa proyek MBG perlu dihentikan dan dievaluasi total. Pertama dimensi ketersediaan, berkelindan dengan aspek kuantitas dan kualitas yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan setiap orang. Dalam proyek MBG, banyak ditemukan menu yang tidak sesuai untuk mencukupi gizi anak sebagaimana yang terlihat dalam pemberitaan media—dimana ditemukan porsi sayur yang hanya sehelai–dua helai–atau sepotong–dua potong, potongan semangka yang sangat tipis, bahkan makanan ultra-proses, kudapan ringan tinggi gula, sampai minuman berpemanis. Temuan-temuan tersebut tentu jauh dari definisi “ketersediaan pangan yang layak.”
Kemudian dalam hal dimensi kelayakan, yang mencakup pemenuhan kebutuhan makanan dari setiap individu, yang bebas dari zat-zat yang merugikan, dan dapat diterima dalam budaya tertentu. Makanan yang tersedia dalam ompreng proyek MBG tentu jauh dari kata layak. Pasalnya, makanan tersebut sering mengandung pewarna, pengemulsi, perasa, pengawet, dan zat aditif lain dan biasanya tinggi gula, lemak jenuh, dan garam, tetapi kurang vitamin dan serat. Oleh karena itu, alih-alih menyehatkan, pemberian makanan ultra–proses dalam ompreng MBG ibarat menanam bom waktu—karena cita-cita Indonesia emas 2045, bisa menjadi generasi cemas karena penyakitan.(4)

Sedangkan dimensi keterjangkauan, terbagi dalam dua jaminan akses, yakni keterjangkauan ekonomi dan keterjangkauan fisik. Berdasarkan konsep Dapur Makan Bergizi Gratis, jarak antara dapur tersebut dengan sekolah sekitar 2 km—dengan tujuan untuk menjaga kualitas makanan. Padahal seharusnya, dapur berada di dalam sekolah—seperti yang selama ini terjadi. Oleh karena itu, terbentang jarak dan waktu yang signifikan antara proses produksi di dapur SPPG, dengan proses konsumsi siswa di sekolah. Hal ini, membuka peluang terhadap pertumbuhan mikroorganisme berbahaya seperti Salmonella, E. coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, bahkan jamur seperti Candida tropicalis. Akibatnya, kasus keracunan massa yang seharusnya bisa dicegah—justru menjadi ancaman nyata terhadap program yang seharusnya menyokong kesehatan anak.
Rentetan realitas buruk yang mencengkram tiga dimensi di atas, menjadikan dimensi keberlanjutan tidak tampak baik—setidaknya karena dua hal. Pertama, kekosongan payung hukum sebagai landasan formal bagi penyelenggaraan proyek MBG menunjukkan bahwa fondasi legal proyek ini belum kokoh. Sehingga, insiden keracunan yang marak muncul bukan sekadar kegagalan teknis—tapi juga trauma pada anak-anak yang terdampak, karena efek samping yang menyakitkan: mual, muntah, sesak nafas, bahkan kejang. Kedua, anggaran yang membengkak tanpa tujuan yang pasti. Di tahun 2026, proyek MBG “menyantap” anggaran pendidikan sampai 44,2% sekitar Rp 335 triliun(5). Oleh karna itu dalam dimensi ini, proyek MBG tampak menyisakan paradoks tajam, karena eksekusinya tanpa jaminan hukum, rendah pengawasan, dan tidak memprioritaskan ruh pendidikan.
Proyek MBG tidak hanya gagal mewujudkan hak atas pangan dan gizi anak-anak, tapi juga tidak adil dalam dimensi gender. Pasalnya, MBG menampilkan pendekatan program yang bias gender dan mereproduksi konstruksi peran perempuan dalam negara yang dibentuk sejak Orde Baru, yakni ideologi Ibuisme (Suryakusuma, 1996) yang menetapkan perempuan dalam peran ‘pendukung’ bagi laki-laki (suami/negara) bukan sebagai tokoh utama. Perempuan diharapkan hanya berfokus pada kerja reproduktif seperti pengasuhan dan perawatan yang tidak dibayar. Ironisnya lagi, maskulinitas membalut kokoh struktur BGN, teridentifikasi dari sepuluh petugas tinggi BGN, hanya satu orang perempuan, bahkan enam di antaranya memiliki latar belakang TNI-Polri. Seleksi Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) untuk posisi Kepala Dapur SPPG tahap ketiga misalnya, hanya menetapkan kuota 10% bagi perempuan dari 30.000 peserta. Selain itu, meski mungkin benar janji Dadan Hindayana (Ketua Badan Gizi Nasional) untuk menyerap tenaga kerja perempuan sampai 55% dalam proyek ini—tapi perempuan hanya mendominasi posisi relawan (6). Sebagai gambaran: sebanyak 47 dari 50 orang dalam satu SPPG berstatus sebagai relawan dan sebagian besar perempuan. Hal ini seturut dengan konstruksi yang menempatkan perempuan bukan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, sehingga bisa dibayar rendah atau tidak dibayar meskipun memiliki beban kerja yang setara atau bahkan lebih besar. Di sisi lain, alih-alih melibatkan para pelaku ekonomi informal, seperti penjual makanan di kantin sekolah yang sebagian besar perempuan, MBG justru berpotensi merugikan atau justru menyingkirkan keberadaan mereka. Realita ini kontradiktif dengan janji MBG untuk menyediakan lapangan kerja dan memberdayakan ekonomi lokal.
Akhirnya, implementasi proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sebetulnya belum sampai satu tahun ini, menghadapi kegagalan struktural dan normatif yang sangat serius. Sebab proyek ini, gagal menjamin ketersediaan pangan bermutu, kelayakan nutrisi, aksesibilitas fisik dan ekonomi, serta keberlanjutan hukum dan anggaran—yang berujung pada kasus keracunan massal dan trauma pada anak-anak. Di samping itu, proyek ini pun bias gender—mengokohkan peran perempuan dalam ruang domestik dan mengabaikan peran mereka sebagai pelaku ekonomi aktif. Seluruh fakta tersebut menegaskan bahwa: alih-alih menjadi tonggak pemenuhan hak atas pangan dan gizi, MBG dalam bentuknya sekarang lebih cenderung menjadi politis dan moral yang harus dihentikan dan dievaluasi total.
Penulis: Hana Saragih dan Karlina
Penyusun: Hana Saragih dan Mufida K
Referensi:
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250929130549-20-1278839/prabowo-sebut-kasus-keracunan-mbg-000017-persen-dari-total-penerima
- https://www.tempo.co/kolom/perspektif-ham-makan-bergizi-gratis-2074252#google_vignette
- https://fian-indonesia.org/instrumen-pemantauan-pelanggaran-hak-atas-pangan-dan-gizi-versi-1/
- https://www.kompas.id/artikel/makan-berbahaya-gratis
- https://www.kompas.id/artikel/sorotan-pada-beban-anggaran-mbg-yang-memakan-anggaran-pendidikan
- https://www.konde.co/2025/09/mbg-harus-dihentikan-skandal-keracunan-makanan-basi-bias-gender-hingga-bayang-bayang-militer/