Pernyataan Sikap FIAN Indonesia terhadap 6 PP Turunan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Jakarta, 8 Maret 2021 – Menanggapi dikeluarkannya 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) dalam situs web Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara pada 21 Februari 2021, FIAN Indonesia menyatakan keprihatinan terhadap beberapa PP yang ternyata tidak memberikan jaminan penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas pangan dan gizi yang lebih baik. Lebih buruk lagi, 49 regulasi ini disusun dengan tergesa-gesa, mengulangi cara lama Omnibus Law dalam mengusahakan pengesahannya.
Sebagai peraturan turunan yang bermuatan untuk melaksanakan atau diperintah undang-undang, dalam hal ini UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law, seharusnya ada pasal-pasal dalam PP yang akan memberikan perlindungan atau safeguards dalam konteks pemenuhan hak atas pangan dan gizi dari pasal-pasal dalam Omnibus Law yang sudah bermasalah. Dalam rilis pernyataan sikap sebelumnya, kami melihat pasal-pasal dalam Omnibus Law mengizinkan pelanggaran hak atas pangan dan gizi dari adanya kemudahan impor pangan dan sarana-sarana pertanian, kemudahan mengonversi lahan yang tidak mengikutsertakan penduduk setempat dan kelompok rentan yang bergantung pada lahan, kemudahan monopoli dan perlindungan terhadap korporasi dan pihak-pihak pengeksploitasi alih-alih rakyat kecil, dan kerusakan lingkungan. Harapan bahwa PP memiliki pasal-pasal yang baik secara langsung ataupun tidak langsung mengatur pemenuhan hak atas pangan dan gizi dalam koridor yang lebih berpihak pada rakyat dan keseimbangan ekologis pun pupus, karena beberapa PP nyatanya tetap mengarah pada pelanggaran hak atas pangan dan gizi.
Berdasarkan analisis kami terhadap enam PP, yakni PP No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, PP No. 23 Tahun 2021 tentang Kehutanan, PP No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, PP No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, PP No. 40 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus, dan PP No. 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, kami menyimpulkan bahwa regulasi-regulasi ini menyebabkan pelanggaran hak atas pangan dan gizi dari adanya:
- Dominasi korporasi (corporate capture) terlihat jelas dalam aturan ini, bahkan negara dibuat takluk dan harus memberikan dukungan melalui pembebasan pajak dan berbagai macam insentif, termasuk menjadikan proyek swasta biasa menjadi proyek strategis nasional demi “kepentingan umum”, termasuk proyek dalam bidang pangan seperti Food Estate.
- Peminggiran dan dilanggarnya hak-hak rakyat, termasuk produsen pangan skala kecil, seperti petani dan nelayan yang memainkan peran krusial dalam pemenuhan hak atas pangan dan gizi (lihat PP No. 26/2021 dan PP No. 27/2021);
- Liberalisasi pangan yang masih berjalan, misalnya dari impor perikanan dan pergaraman yang semakin terbuka secara leluasa, alih-alih menguatkan sistem pangan lokal yang berpihak pada produsen dan konsumen, dan lebih berkelanjutan secara ekologis;
- Kemudahan alih fungsi dan konversi lahan pangan dan kawasan hutan, yang dalam skala ekstrem, dapat berujung pada perampasan lahan serta konflik-konflik agraria. Misalnya kemudahan mengonversi lahan budidaya pertanian dan pelepasan kawasan hutan untuk proyek-proyek kepentingan umum, termasuk proyek strategis nasional, pemulihan ekonomi nasional, dan Food Estate (lihat PP No. 23 Tahun 2021, 26 Tahun 2021, dan 42 Tahun 2021);
- Ketidakadilan atas nama ‘pembangunan’ yang dihadapi kelompok rentan dan penduduk tempatan yang tinggal di sekitar hutan, termasuk dengan tidak dijaminnya keikutsertaan mereka dalam perencanaan pembangunan (terkait dengan hak PADIATAPA), tidak dijaminnya ganti rugi atas lahan yang adil baik secara sosial, ekonomi, kultural bahkan religius, dan dipersulitnya resolusi konflik ketika mereka memperoleh dampak buruk dari pembangunan. Pembangunan seharusnya tidak meminggirkan aspek sosial dan diarahkan untuk kepentingan bisnis semata.
Pasal-pasal yang termaktub dalam peraturan-peraturan seperti yang telah disebutkan di atas melanggar empat muatan normatif hak atas pangan dan gizi (kecukupan, ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan), terutama dari sisi ketersediaan dan keterjangkauan ketika lahan pangan dan hutan, yang menjadi sumber pangan vital dan subsistensi bagi beberapa orang, terancam hilang dan diakuisisi perusahaan, bahkan, negara. Deretan PP ini juga akan melanggar beberapa pasal dalam Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) terutama pasal 15 tentang hak atas pangan dan gizi yang layak dan kedaulatan pangan.
Selain itu, Pemerintah memanfaatkan frasa “kepentingan umum” yang sebenarnya berpotensi memunculkan tindakan-tindakan represif pada rakyat yang menolak pembangunan. Sejatinya, “kepentingan umum” diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang didefinisikan rakyat itu sendiri.
Berlandaskan hal ini, FIAN Indonesia tetap konsisten dalam sikap, mendesak pemerintah untuk:
- Mengutamakan tuntutan masyarakat Indonesia untuk mencabut UU Cipta Kerja dan peraturan-peraturan turunannya yang masih berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas pangan dan gizi;
- Melaksanakan kewajiban negara untuk menghargai, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan dan gizi, termasuk dalam penyusunan regulasi yang sesuai dengan konstitusi UUD 1945.
- Mengedepankan pemenuhan hak atas pangan dan gizi yang berpihak pada sistem pangan lokal dan produsen pangan skala kecil alih-alih berfokus pada proyek ketahanan pangan yang semata-mata untuk stabilisasi nasional dan menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai wujud keprihatinan kami atas pengabaian negara untuk menghormati dan melindungi hak-hak warga negara sesuai dengan cita-cita konstitusi.
Jakarta, 10 Maret 2021
Gusti Nur Asla Shabia
(+6281283739421)
Riset dan Advokasi FIAN Indonesia