Jakarta, 31 Oktober 2024. Pada 29 Oktober 2024 lalu, FIAN Indonesia melaksanakan diskusi publik terakhir, dalam rangkaian peringatan agenda Bulan Pangan Sedunia untuk merayakan Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada tanggal 16 Oktober 2024 lalu. Pada diskusi ini, FIAN Indonesia juga meluncurkan Versi I “Instrumen Pemantauan Pelanggaran Hak atas Pangan dan Gizi.” Diskusi ini terdiri atas tiga bagian, bagian pertama adalah pemaparan dari para Narasumber, yakni: Hilma Safitri (Tim Penyusun/FIAN Indonesia) Said Abdullah (Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan), dan Atnike Nova Sigiro (Ketua Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Bagian kedua adalah tanggapan dari Retty Ratnawati (Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) dan Ilham Bahri (Asisten Riksa KU III Ombudsman RI). Bagian terakhir adalah diskusi terbuka untuk seluruh jaringan masyarakat sipil.
Hilma Safitri membuka diskusi ini dengan menjabarkan mengenai “Instrumen Pemantauan Hak atas Pangan dan Gizi,” yang tidak hanya menunjukkan angka-angka semata, tetapi di dalamnya harus mencakup aspek budaya, aspek ekonomi-politik, dan lain-lain. Sebab hak atas pangan dan gizi melekat erat dengan konsep bermartabat—memenuhi aspek ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan, serta berdaulat—kelayakan pangan secara kualitas dan kuantitas, sehat dan sesuai budaya, baik secara individu maupun kelompok, dan berkelanjutan. Di samping itu, terdapat beberapa subjek yang harus dilindungi, yakni: petani, nelayan dan petambak skala kecil, perempuan (termasuk remaja), penyandang disabilitas, kaum miskin perkotaan, pengolah pangan, pedagang, buruh dan buruh tani, perikanan, dan kelompok rentan lainnya (termasuk korban bencana alam dan yang tinggal di daerah rawan bencana). Lebih lanjut, identifikasi dalam indikator pemantauan hak atas pangan dan gizi ini meliputi: (2) indikator struktur (kewajiban negara); (2) indikator proses (pemangku pelaksana kebijakan); dan (3) indikator hasil (tingkat perwujudan hak atas pangan dan gizi). Selain itu, memuat enam (6) kerangka tematik yang mencakup: (1) perlindungan sda; (2) gizi dan kesehatan; (3) kesesuaian budaya; (4) finansial layak; (5) distribusi atau penyebaran pangan bergizi; dan (6) ketangguhan terhadap bencana.
Said Abdullah dalam pemaparannya menyampaikan konsep utama kedaulatan pangan. KRKP merumuskan kedaulatan pangan sebagai konsep hak di mana setiap orang, kelompok masyarakat, dan negara untuk mengakses dan mengontrol berbagai sumberdaya produktif, serta mengontrol dalam kebijakan produksi, distribusi, dan konsumsi pangannya sesuai dengan kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya khas masing- masing dengan mengutamakan kemuliaan bagi produsen pangan yaitu petani. Kedaulatan pangan menekankan pendekatan subjek hak. Disampaikan bahwa terdapat beberapa kesamaan instrumen yang FIAN Indonesia rumuskan dengan Indeks Kedaulatan Pangan. “Pengukuran kedaulatan pangan ini jangan- jangan adalah bagian dari pengukuran mengenai Hak atas Pangan dan Gizi.” Lebih lanjut, Said Abdullah memaparkan temuan dari pengukuran yang dilakukan KRKP berdasar pada empat (4) prinsip, 11 kriteria, dan 22 indikator yang telah disusun. Dalam studi kasus di Krasak, Boyolali, persentase kedaulatan pangan rata-rata hanya menyentuh angka 67%. Teridentifikasi kelemahan yang menjadi faktor tidak terealisasinya kedaulatan pangan di Krasak: luas tanah yang dikuasai petani; cadangan pangan pemerintah daerah; kasus keracunan pangan; asuransi petani; harga panen yang tidak menguntungkan; serta input produksi pertanian yang tidak berkelanjutan. Said Abdullah menyatakan, “Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini, sesungguhnya kita tidak kemana-mana dalam realisasi hak kedaulatan pangan.”
Ketua Komisioner Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menjelaskan bahwa berdasarkan kerangka hukum dan HAM yang Indonesia miliki tidak ada yang secara eksplisit mengungkit Hak atas Pangan dan Gizi. Namun, secara substansi hal tersebut masuk dalam hak atas standar hidup yang layak. Berdasar klasifikasi hak yang diadukan kepada Komnas HAM pada 2023, hak atas kesejahteraan merupakan kasus pengaduan yang paling banyak diterima Komnas HAM yaitu sebanyak 40% dari 2.695 total pengaduan. Pada konteks pemantauan Hak atas Pangan dan Gizi, Atnike menerangkan bahwa pemantauan dapat dilakukan dengan memantau tanggung Jawab Negara selaku negara pihak dari Konvensi terkait Hak atas Pangan serta tanggung jawab Negara dan Aktor non-Negara (misalnya: korporasi) berdasarkan peraturan dan perundang- undangan di Indonesia. Komnas HAM memiliki instrumen dengan bentuk dan fungsi yang sama dengan Komentar Umum Dewan HAM PBB yang disebut sebagai Standar Norma dan Pengaturan. “Standar norma ini ada untuk menjelaskan prinsip-prinsip, menyusun interpretasi terhadap prinsip-prinsip dari satu kelompok hak atau pun suatu kelompok masyarakat atau individu yang memiliki karakter khusus. Komnas HAM belum memiliki Standar Norma dan Pengaturan khusus mengenai Hak atas Pangan dan Gizi”. Peran organisasi masyarakat sipil dengan pemantauan dan kajiannya akan sangat berguna sebagai bahan untuk mempelajari konsepsi mengenai Hak atas Pangan dan Gizi, terlebih terkait interpretasi yang dilakukan terhadap teks hukum, sekaligus melihat kekosongan hukum, dari identifikasi kekosongan hukum dan norma tersebut, selanjutnya Atnike menyampaikan, “Standar Norma dan Pengaturan khusus mengenai Hak atas Pangan dan Gizi ke depan belum bisa diputuskan. Namun, semakin banyak kajian mengenai Hak atas Pangan dan Gizi menjadi modalitas Komnas HAM untuk menyusun Standar Norma dan Pengaturan khusus tersebut.”
Menanggapi pemaparan dari para narasumber dan butir-butir dalam Instrumen Pemantauan Hak atas
Pangan dan Gizi FIAN Indonesia, Retty Ratnawati menyampaikan, “Kita memerlukan instrumen yang sudah disusun oleh FIAN Indonesia sebagai satu hal yang sangat ideal. Karena negara kita adalah negara yang makmur, semua ada, tapi masih ada kasus kelaparan.” Komnas Perempuan sendiri tidak pernah mendapat pengaduan mengenai persoalan kelaparan atau kekurangan makan, yang ada justru penelantaran ekonomi akibat tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga. Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya data terpilah jenis kelamin dalam instrumen ini maupun hasil dari instrumen ini. Sebab dalam konteks gizi, perempuan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dari laki-laki, dimana perempuan melewati proses hamil dan menyusui. Ciri khas ini tidak bisa digeneralisasi.
Perwakilan Ombudsman RI memberikan tanggapan, “Persoalan hak dan akses yang dibahas dan termasuk akan dipantau melalui dokumen tersebut sangat erat kaitannya dengan kerja-kerja Ombudsman”. Lebih lanjut, disampaikan bahwa jika berdasar pada jenis indikator yang FIAN Indonesia susun, Ombudsman sangat berkaitan dengan proses pengawasan atau pemantauan yang terdapat pada jenis indikator proses yakni upaya pengawasan terhadap proyek pangan pemerintah dan kesesuaiannya, terlebih Ombudsman sendiri menghadapi temuan-temuan seperti ketidaktepat sasaran penerima manfaat program pangan dan persoalan pemutakhiran data yang berujung pada maladministrasi. Selanjutnya, Ilham Bahri menyampaikan mengenai tiga jenis pelayanan publik, yaitu admistriasi, barang, dan jasa, yang dalam konteks pemantauan Hak atas Pangan dan Gizi dapat dijadikan alternatif pendekatan untuk melakukan pemantauan.
Sebagai bagian dari proses diskusi, Sastro (Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia) menyampaikan
bahwa, “Konsep yang disusun oleh FIAN Indonesia melengkapi gerakan atas pemenuhan hak atas pangan dan gizi di Indonesia yang selama ini bak “panggang jauh dari api.” Ia kemudian menegaskan bahwa penting untuk menjadikan instrumen pemantauan hak atas pangan dan gizi ini sebagai alat kontrol untuk gerakan rakyat yang selama ini masih sangat elitis—”dikerubungi” oleh para akademisi dan peneliti. Rachmi Hertanti (Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia) membungkus diskusi ini dengan mengatakan, “Merujuk pada pemaparan Ketua Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pengaduan mengenai pelanggaran hak atas pangan dan gizi masih sangat minim. Ini menunjukkan bahwa mainstreaming isu hak atas pangan dan gizi belum terjadi di Indonesia, bahkan dari sisi pembuat kebijakan itu sendiri.” Ia kemudian menegaskan bahwa yang terpenting adalah soal non-discrimination, dimana tidak boleh ada satu kelompok pun yang tidak terpenuhi hak atas pangan dan gizinya. Sebab sejauh ini, Negara hanya melegitimasi soal progressive realization to the right to food. Untuk itu, melalui Instrumen Pemantauan Hak atas Pangan dan Gizi, FIAN Indonesia menautkan empat (4) konsep inti hak atas pangan dan gizi yang dapat dilihat melalui enam (6) tema sebagaimana yang sudah tertera di atas.
Dokumen Instrumen Pemantauan Hak atas Pangan dan Gizi dapat diakses pada tautan berikut:
https://bit.ly/Indikator-HaPG-FIAN2024.
Video diskusi dapat diakses pada tautan berikut:
https://bit.ly/VideoDiskusiBulanPangan3 .
Dokumentasi diskusi dapat diakses pada tautan berikut:
https://bit.ly/DokumentasiKegiatanDiskusiPangan3
Narahubung dapat menghubungi :
Hana Saragih, Staf Riset dan Advokasi, 0822 4900 0047, hanasagih@fian-Indonesia.org
Mufida Kusumaningtyas, Staf Riset dan Advokasi, 0822 4900 0047. mufida@fian-Indonesia.org
Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia.