Masalah gizi buruk dan campak di Papua menjadi kejadian luar biasa. Kementerian Kesehatan menurunkan 39 tenaga kesehatan sebagai respons terhadap KLB gizi buruk dan campak. Selain itu, bantuan juga diberikan TNI dengan mengirimkan satgas kesehatan. Pemerintah daerah pun membentuk tim yang segera diturunkan ke lapangan untuk melakukan pencegahan dan pengobatan serta pemberian makanan tambahan (PMT). Bagian pemerintahan yang lain, Kepala Staf Kepresidenan Jenderal (Purn) Moeldoko, menunjuk kebiasaan masyarakat yang kurang peduli terhadap kesehatan menjadi penyebab terjadinya wabah tersebut. Hal serupa juga diungkapkan oleh Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek.
“Kalau buang air gimana, ada cacing yang keluar. Ini mesti diselesaikan. Kalaupun dia dikasih makan, tapi kalau enggak bagus [pola hidupnya] akan kembali seperti itu,” kata Nila.
Pertanyaannya, benarkah gizi buruk tidak berakar pada soal sistemik yang menyangkut sarana/prasarana sanitasi, kemiskinan, dan kurang pangan, melainkan persoalan pola hidup yang bersifat khusus dan terkait kebudayaan? Jika penyebab gizi buruk adalah semata soal “kebiasaan masyarakat”, bukan soal sistemik, gizi buruk seharusnya hanya terjadi di segelintir daerah Indonesia. Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan buku Saku Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2016 bahwa proporsi balita berusia 0 hingga 59 bulan dengan gizi buruk dan gizi kurang pada 2013 mencapai 19,6 persen. Angka ini meningkat dari 17,9 persen pada 2010. Peningkatan terlihat pada proporsi balita dengan kategori gizi kurang. Pada 2007, tercatat ada 13 persen anak berusia 0-59 bulan yang kekurangan gizi. Porsinya meningkat mencapai 14,9 persen pada 2015. Hingga, di 2016, berkurang 0,5 persen menjadi 14,4 persen balita yang dikategorikan sebagai gizi kurang.
Porsi balita pada usia yang sama dengan gizi buruk cenderung mengalami penurunan. Pada 2007, tercatat ada 5,4 persen anak berusia 0-59 bulan yang mengalami masalah ini. Porsinya berkurang menjadi 3,4 persen pada 2016.
Tiga Provinsi dengan Porsi Balita Kurang Gizi Paling Minimal
Jika dilihat berdasarkan provinsi, pada 2016, hanya tiga dari 34 provinsi yang proporsi balita dengan gizi kurang dan buruk berjumlah kurang dari 10 persen, yaitu Sulawesi Utara, Bengkulu, serta Bali. Sebanyak 9,1 persen Balita di Bali mengalami masalah ini, dengan 1 persen untuk gizi buruk dan 8,1 persen untuk gizi kurang. Sedangkan di Bengkulu dan Sulawesi Utara, masing-masing ada 8,7 dan 7,2 persen balita yang masuk dalam kategori gizi kurang dan buruk.
Di Provinsi Papua, yang sedang mengalami wabah gizi buruk, proporsi balita yang mengalaminya sebanyak 3,2 persen dari populasi, di bawah rata-rata nasional yang berada di angka 3,4 persen. Masih terjadinya kasus gizi buruk menjadi paradoksal di tengah kampanye swasembada pangan yang gencar disuarakan oleh pemerintahan Jokowi. Pemerintah masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Yang terdekat adalah upaya pencegahan sedini mungkin untuk menangani permasalahan gizi di Indonesia.
Peningkatan kesadaran masyarakat akan asupan gizi seimbang sejak masa kehamilan adalah kunci awal untuk memerangi kasus gizi buruk. Imunisasi juga bisa menjadi tameng untuk menjaga kesehatan balita sehingga akan memberikan dampak positif bagi tumbuh kembangnya.
Tak hanya itu, respons pemerintah, khususnya yang berada di tingkatan terdekat dengan masyarakat, atas kejadian gizi buruk seharusnya dipercepat. Bukan hanya sekedar memberikan bantuan beras ataupun makanan tambahan, akses terhadap fasilitas dan tenaga kesehatan juga perlu dipermudah. Gizi buruk bukanlah masalah yang terjadi secara mendadak, melainkan disebabkan oleh sulitnya akses terhadap nutrisi. Terlebih lagi, ketika ada 14 dari 34 provinsi dengan proporsi gizi buruk lebih tinggi dari rata-rata seluruh Indonesia, artinya ada yang keliru secara sistemik terkait ketersediaan pangan dan kesehatan. Pemerintah seharusnya sadar bahwa alarm berbunyi ketika ada kasus gizi buruk yang mencuat dan mencari solusi yang bisa menyelesaikannya secara sistemik pula. Bukan sekadar menunjuk “pola hidup” sebagai akar masalah dari persoalan gizi buruk.
Dikutip dari: tirto.id