Pernyataan Sikap FIAN Indonesia dan Solidaritas Perempuan terhadap Hasil Concluding Observation Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan Sesi Ke-80
Jakarta, 17 November 2021 – Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan (CEDAW) telah merilis Observasi Penutup (Concluding Observation) dari laporan periodik ke-8 Pemerintah Indonesia pada 15 November 2021. Dalam pengamatannya, Komite menilai bahwa stereotip patriarki terhadap peran dan tanggung jawab perempuan yang berdampak pada diskriminasi dan pelanggengan subordinasi atas perempuan tetap mengakar kuat dalam keluarga dan masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mengeksklusi dan tidak melindungi hak-hak perempuan atas pembangunan dan sumber daya alam yang berhubungan erat dengan hak perempuan atas pangan dan kedaulatan agraria.
Salah satu kebijakan yang semakin memperparah kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi terhadap hak perempuan atas pangan dan kedaulatan agraria adalah Omnibus Law (Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) dengan 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres) sebagai aturan aturan turunannya. Dalam observasinya, Komite CEDAW menilai bahwa Omnibus Law memperparah diskriminasi terhadap perempuan melalui ranah ketenagakerjaan dan terkhusus untuk perempuan desa dan masyarakat adat (indigenous rural women).
Senada dengan laporan yang diajukan FIAN Indonesia dan Solidaritas Perempuan kepada Komite CEDAW, Komite sepakat bahwa Omnibus Law dengan perubahan pasal-pasal yang mengatur upah, lembur, dan pensiun dapat mengancam kehidupan dan pekerjaan para perempuan Indonesia yang sudah rentan diskriminasi. Bagi perempuan pedesaan dan perempuan adat, akses dan hak perempuan atas tanah dan sumber daya alam dapat semakin terancam dengan dilemahkannya AMDAL serta prosedur perizinan untuk pembangunan oleh Omnibus Law.
Staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia, Gusti Nur Asla Shabia, menegaskan bahwa akses terhadap pekerjaan dan sumber daya produktif dari alam yang ada di sekitar perempuan merupakan prasyarat untuk hidup layak, dan ini merupakan hak perempuan atas pangan. “Anemia dan malnutrisi sebagai permasalahan pangan dan gizi yang dialami perempuan, juga bukan kondisi yang terjadi secara langsung karena adanya kerusakan lingkungan yang masif atau tertutupnya akses mereka terhadap sumber daya produktif di desa,” terang Shabia. “Perempuan dapat terjerumus dahulu dalam situasi penuh kerentanan dan kekerasan lainnya, seperti pernikahan dini, menjadi buruh migran, atau pekerja yang diupah rendah dengan lingkungan kerja yang toksik yang akhirnya menimbulkan masalah lanjutan berupa malnutrisi tadi.”
Selain itu, Putri Fahimatul Hasni sebagai Staf Advokasi Kebijakan Solidaritas Perempuan turut menegaskan, “Menguatnya kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan terjadi secara kompleks diperparah dengan global supply chain yang memerangkap perempuan dalam situasi-situasi rentan kekerasan dan eksploitasi.”
Lapisan diskriminasi terhadap perempuan dalam menikmati hak-haknya atas sumber-sumber agraria dan pangan juga diperkuat melalui sejumlah kebijakan di tingkat nasional. Seperti dalam UU No. 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam hanya mengakui posisi perempuan sebagai bagian dari rumah tangga nelayan. Sehingga identitas politik personalnya tidak diakui dan hanya dilekatkan pada kepala keluarganya. Padahal perempuan memiliki banyak peran dalam rantai pangan di sektor tersebut. Hal ini semakin meminggirkan perempuan untuk memperoleh hak perlindungannya.
Rantai diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan juga tidak terlepas dari gagalnya Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan agenda Reforma Agraria yang adil gender. Meskipun Presiden Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, namun dalam kebijakan tersebut belum memasukan keadilan dan kesetaraan gender sebagai prinsip dalam pelaksanaan reforma agraria. Belum ada konsiderasi gender atau mempertimbangkan situasi dan kondisi perempuan di Indonesia dalam konteks penyelenggaraan agraria, penataan aset dan akses, penyelesaian konflik agraria maupun dalam kelembagaan Reforma Agraria.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, FIAN Indonesia dan Solidaritas Perempuan, mendesak pemerintah Indonesia mencabut UU Cipta Kerja dan menjamin hak-hak perempuan atas pangan dan kedaulatan agraria. Selain mencabut UU Cipta Kerja, Solidaritas Perempuan dan FIAN Indonesia meminta Pemerintah Indonesia untuk:
- Menjamin posisi perempuan yang setara dengan laki-laki sebagai pemegang hak dalam UU 7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam; UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, sebagaimana yang turut direkomendasikan Komite bagi Indonesia dalam Paragraf 42 poin (e);
- Mereorganisasi struktur penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, dan kepemilikan sumber-sumber agraria sebagaimana yang dimandatkan dalam UU No. 6/1960 dengan merealisasikan reforma agraria yang berkeadilan gender dan sosial.
- Mematuhi seluruh rekomendasi Komite CEDAW untuk menjamin perlindungan hak dan menghapus diskriminasi terhadap perempuan di berbagai sektor, termasuk hak perempuan atas pangan dan kedaulatan
Narahubung:
- 081283739421 Gusti Nur Asla Shabia, FIAN Indonesia
- 085785934496 Putri Fahimatul, Solidaritas Perempuan