Pernyataan Presiden Joko Widodo soal tak akan ada impor beras hingga Juni 2021 tidak membuat kita merasa lega. Pada Jumat (26/03) kemarin, Presiden menegaskan bahwa impor beras tak akan masuk ke Indonesia hingga Juni 2021.
Pernyataan Presiden tersebut menjawab sejumlah kritik dan protes jaringan kelompok tani, kelompok masyarakat sipil, akademisi, hingga sejumlah kepala daerah terkait rencana impor beras satu juta ton. Apalagi rencana tersebut bersamaan dengan panen raya.
Meskipun ada pernyataan ini, masyarakat tak boleh lengah, mengingat bahwa nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dengan Thailand dan Vietnam telah dibuat dan akan ditandatangani akhir Maret ini, meskipun hanya untuk “berjaga-jaga di tengah ketidakpastian pandemi”. Artinya masih akan ada impor beras dalam tahun ini.
Justifikasi “berjaga-jaga” ini terasa lemah, karena selama tiga tahun terakhir, baik data produksi maupun harga beras selama tiga tahun terakhir tidak menunjukkan urgensi untuk impor. Selama tiga tahun terakhir, bahkan dalam kondisi pandemi Covid-19 sekalipun, Indonesia selalu surplus beras. Harga beras selama tiga tahun terakhir pun relatif stabil.
Selama ini, rencana impor beras selalu menuai kritik sebab:
Pertama, ketidaksinkronan data yang dijadikan sebagai acuan untuk mengambil keputusan impor, antara data cadangan beras pemerintah (CBP) dan data dari Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik.
Kedua, koordinasi antar kementerian yang masih diwarnai kepentingan sektoral, terutama dalam pengambilan keputusan soal pangan.
Ketiga, permasalahan Bulog yang masih terjegal dengan posisinya yang dilematis sebagai penjaga stabilitas pangan dan perum yang harus mencari profit, yang membuatnya kesulitan untuk melakukan penyerapan dan menyalurkan stok beras lama yang sudah turun mutu.
Presiden FIAN Indonesia, Iwan Nurdin, mengatakan bahwa penundaan impor beras ini harus menjadi momentum untuk mengkritisi carut-marut perberasan dan pangan nasional secara keseluruhan.
“Kita harus kembali mendorong kelembagaan pangan atau Badan Pangan Nasional yang sudah diamanatkan oleh UU Nomor 18 tahun 2012, entah dengan menciptakan badan baru atau melalui transformasi Bulog,” tegas Iwan. Badan Pangan Nasional akan menjadi kelembagaan pangan yang dapat mengambil kebijakan strategis terkait tata kelola pangan sekaligus pemenuhan hak atas pangan. “Tata kelola pangan, utamanya administrasi pangan dari produksi hingga distribusi harus berlandaskan data yang akurat.”
Selain kelembagaan, soal impor beras dan impor pangan juga disebabkan oleh lemahnya posisi petani dan pertanian dalam mendapatkan alokasi lahan, alat-alat produksi, dan jaminan pasar sehingga menjadikan produksi pangan nasional mencukupi baik untuk kebutuhan konsumsi maupun industri.
Impor pangan harus tetap diwaspadai karena kemudahannya telah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang kini memperbolehkan impor meskipun produksi pangan dalam negeri dan stok pangan masih ada. “Impor yang tidak tepat telah dan akan menjadi ajang perburuan rente dan aktor politik dalam pembiayaan kandidasi politik mereka,” terang Iwan. Akhirnya, impor malah sekadar memuaskan kepentingan aktor-aktor tertentu dan tidak disandarkan pada kebutuhan rakyat. Selain itu, tertundanya impor beras tak bisa lantas disyukuri karena masih ada rencana impor komoditas-komoditas lain yang problematik, seperti impor gula, garam, dan bawang putih.
Terakhir, Laksmi A. Savitri, Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia, juga mengingatkan terkait bahaya laten impor pangan yang mengarah pada agenda liberalisasi pangan. “Yang kita butuhkan adalah kualitas pangan yang layak untuk semua orang, akses terhadap pangan yang merata, dan penyediaan yang berkelanjutan untuk pemenuhan hak atas pangan dan gizi yang sejati. Impor pangan yang berkutat pada urusan kuantitas belaka jelas tak menjamah urusan ini, dan malah akan melanggar hak atas pangan dan gizi kaum miskin, perempuan, dan golongan rentan lainnya.”
Oleh karena itu, menanggapi penundaan impor beras ini, FIAN Indonesia tetap dalam sikapnya dan mendesak Pemerintah untuk:
1. Segera membentuk Badan Pangan Nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 18 tahun 2012 (Pasal 126-129 dan Pasal 151).
2. Memperkuat produksi pangan nasional bernsandarkan rumah tangga petani, koperasi petani, nelayan tradisional dan masyarakat adat melalui reforma agraria
3. Mereformasi sistem perdagangan pangan yang memberlakukan pendekatan multisektoral dalam memenuhi hak atas pangan dan gizi di Indonesia, yang mengikutsertakan kementerian-kementerian yang relevan, dan yang bersandar pada data yang akurat.
4. Mencabut UU Cipta Kerja dan revisi pasal-pasal yang tadinya berpihak pada liberalisasi pangan untuk lebih berfokus pada sistem pangan yang berpihak pada produsen pangan skala kecil, yang berkelanjutan, dan mendukung konsumsi yang sehat dan bergizi.
5. Menjadikan Deklarasi tentang Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) sebagai acuan pemerintah dalam memfasilitasi akses dan partisipasi petani dan produsen pangan skala kecil untuk menjual panennya dan untuk memperoleh standar kehidupan yang layak, yang dapat mewujudkan pemenuhan hak atas pangan yang layak. Bukan hanya bagi petani atau produsen pangan skala kecil, tetapi untuk keseluruhan rakyat Indonesia.