Impor Beras
Cukup naas membayangkan petani Indonesia yang telah menggelontorkan tenaga, waktu, dan modal finansialnya untuk menanam padi, hanya untuk mendapati kelak mereka akan bersaing dengan produk impor. Namun, hal itu lah yang terjadi. Panen raya yang selalu jadi momen mencemaskan dan melegakan bagi petani; menilik panen akan terserap tetapi harga jatuh karena membludaknya persediaan beras dalam negeri, kini ketiban kecemasan yang lain: harga semakin jatuh karena rencana pemerintah mengimpor satu juta ton beras.
Polemik impor beras telah berlangsung sejak awal Maret 2021. Singkatnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Perdagangan selaku pengambil kebijakan impor beras, bersepakat untuk mengimpor 1 juta ton beras. Mereka menggunakan data cadangan beras pemerintah (CBP) yang ada di angka 859.887 ton per Maret 2021, di bawah ketentuan minimal 1,5 juta ton, yang diperkirakan tidak akan mencukupi kebutuhan beras nasional di angka 12,33 juta ton hingga bulan yang sama (Bayu, 2021). Namun, data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, stok beras nasional ada di angka 7,38 juta ton per Desember 2020. Perkiraan produksi beras secara nasional hingga Mei 2021 ada di kisaran 24,9 juta ton. Melihat angka prognosis produksi ini, ada surplus sebesar 12,6 juta ton.
Apakah ini hanya masalah kesimpangsiuran data, urgensi untuk memenuhi iron stock CBP BULOG, atau urgensi memenuhi kebutuhan dalam negeri yang bisa membludak karena mendekati momentum hari raya, bantuan sosial pangan, dan bantuan untuk korban bencana alam sebagaimana kata pemerintah? Diperkirakan, konsumsi masyarakat pada Ramadhan dan hari raya malah akan menurun dan situasi pandemi Covid-19 belum pulih, membuat masyarakat masih akan cenderung menabung ketimbang berbelanja (CNN Indonesia, 2021; Florentin dan Larissa, 2021). Sementara, Bulog sendiri mengalami kesulitan menyalurkan beras sejak program raskin dan ranstra dihapus, yang membuat mereka terus menurunkan penyerapan beras domestik (Khudori, 2021). Bulog sendiri masih pusing mengurusi penyaluran beras-beras tahun 2018 dan 2019 yang ada di gudang Bulog. Mereka akan kelimpungan ketika impor juga harus diserap. Kalaupun BULOG tetap harus memenuhi kebutuhan iron stock, mereka dapat menyerap beras domestik yang diperkirakan surplus. Demikian pula penyerapan stok nasional dapat dialihkan untuk bansos, tidak perlu sampai impor.
Hal ini membuat impor jadi tidak beralasan apabila dilihat dari perspektif yang teknis. Kita tentunya boleh berpikir kritis dan menaruh prasangka bahwa ada banyak kepentingan yang dapat melatarbelakangi kebijakan impor beras yang semena-mena di luar kesimpangsiuran data dan buruknya koordinasi antarpihak dalam pemenuhan pangan. Misalkan, kepentingan politik perdagangan antarnegara. Dalam hal ini, misalnya, dengan Pemerintah Thailand di mana akan ditandatangani MoU kesepakatan impor beras putih (G2G) sebanyak 1 juta tadi (Arbar, 2021) yang mungkin dilakukan juga untuk menjaga ekspor minyak mentah dan mesin ke Thailand.
Hal yang perlu diingat adalah posisi beras yang menurut Bayu Krisnamurthi, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia atau Perhepi, sebagai komoditas strategis yang bukan hanya memiliki dimensi ekonomi, tetapi politik yang kental: (1) satu sisi memengaruhi kemiskinan dan inflasi, dan (2) sisi lainnya memiliki kepentingan bisnis dengan total Rp280 triliun per tahun (Kompas, 2021).
Ancaman Liberalisasi Pangan
Beras hanyalah satu dari banyak komoditas yang akan diimpor pada awal tahun ini. Gula, garam, daging sapi, dan bawang putih adalah komoditas lainnya yang akan diimpor. Kendati produksi dalam negeri memang belum bisa menutup kebutuhan beberapa komoditas ini, tetap ada ancaman impor mematikan kesejahteraan petani kecil. Impor gula konsumsi misalnya, dari yang hanya dibutuhkan sebanyak 300.000 hingga Mei 2021, membludak ke angka 796.944, mengancam terpukulnya harga di tingkat petani tebu pada musim giling (Kurniawan, 2021 dari wawancara Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia [APTRI]). Ini membawa kita pada kesadaran betapa Indonesia keranjingan mencantolkan sistem pangan kita dengan sistem pangan global, membuat pemenuhan pangan menjadi semakin liberal.
Masalah impor beras dan komoditas lainnya semakin menjadi kekhawatiran banyak pihak—termasuk FIAN Indonesia—ketika melihat pasal-pasal dalam regulasi yang mengarah pada liberalisasi pangan. Seharusnya, ketika terjadi kesimpangsiuran data yang menyebabkan impor pangan yang tidak perlu, regulasi dapat menjadi titik kekuatan untuk memberlakukan kebijakan sebagaimana mestinya. Misalnya, impor pangan baru boleh dilakukan ketika produksi dalam negeri atau cadangan pangan tidak mencukupi—ketika data-data yang ada menunjukkan produksi atau cadangan pangan dalam negeri itu cukup.
Namun naas, UU Cipta Kerja tak lagi menjamin bahwa impor baru bisa dilakukan ketika ada keadaan-keadaan ini. Pasal 64 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 14 Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan menaruh impor setara dengan produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional, sehingga bisa dilakukan impor ketika produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional masih memenuhi kebutuhan. Yang artinya, penyerapan Bulog pun juga tidak harus memprioritaskan produksi dalam negeri.
Tentu, ada safeguards yang bisa kita pakai untuk mencerca kebijakan impor beras ini dengan mengacu pada Pasal 36 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dalam UU Cipta Kerja dan Pasal 30 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, di mana impor pangan dan impor pangan pokok harus memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudidaya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan Mikro dan Kecil dan harus berusaha melindungi mereka. Melihat impor beras pada saat panen raya terbukti akan menurunkan nilai tukar petani (NTP) dan membuat harga gabah akan semakin jatuh, impor beras tidak bijak untuk direalisasikan. Tapi benarkah safeguards dalam pasal-pasal ini cukup kuat untuk membendung kebijakan pemerintah?
Dampak Jangka Panjang
Olivier de Schutter dalam Laporan Pelapor Khusus Hak atas Pangan (2014) pernah mengatakan, bila liberalisasi pangan yang tidak membatasi impor komoditas yang turut ditanam oleh petani terus berlangsung berkepanjangan, pertanian skala kecil tidak akan bertahan. Dalam jangka panjang, petani harus mendiversifikasikan pendapatan mereka dan tak hanya bergantung pada usaha tani yang kian tak cukup untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Banyak yang harus mengeksploitasi diri dengan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga; akan banyak pula yang menjadi tidak sejahtera. Kemiskinan di pedesaan semakin meningkat. Yang tak memilih melanjutkan kerja pertanian di desa, akan bermigrasi ke kota dan menjadi buruh dengan upah yang murah—bentuk kerentanan baru yang lain.
Apakah konsumen akan imun dari dampak buruk keranjingan impor? Tidak juga. Ketergantungan pemerintah untuk mengimpor dalam dalih menyeimbangkan harga dan membuat konsumen dapat membeli pangan dengan harga yang terjangkau akan membuat satu negara rentan pada volatilitas harga di pasar global dan tak punya kekuatan produksi lokal yang berkelanjutan yang selama ini diabaikan (de Schutter, 2017). Yang akhirnya, membuat konsumen juga rentan dengan harga pangan yang dapat melonjak sewaktu-waktu, terutama dalam kondisi krisis.
Kebijakan yang mengarah pada liberalisasi pangan pun menjadi bumerang untuk kedua belah pihak.
Seruan FIAN Indonesia
Pasal 16 Deklarasi tentang Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP) telah menyerukan bahwa negara harus mendukung dan menyediakan pasar yang memfasilitasi akses dan partisipasi petani dan produsen pangan skala kecil lainnya untuk menjual panennya dan memperoleh standar kehidupan yang layak, yang selanjutnya terhubung dengan pemenuhan hak atas pangan yang layak bagi mereka (Pasal 15). Oleh karena itu, FIAN Indonesia mendesak:
- Hentikan rencana impor beras yang akan merugikan petani dan menjebak mereka dalam kerentanan dan kemiskinan, terutama dalam kondisi pandemi Covid-19.
- Cabut UU Cipta Kerja dan revisi pasal-pasal yang tadinya berpihak pada liberalisasi pangan untuk lebih berfokus pada sistem pangan yang berpihak pada produsen pangan skala kecil, yang berkelanjutan, dan mendukung konsumsi yang sehat dan bergizi.
- Harus ada reformasi sistem pangan yang memberlakukan pendekatan multisektoral dalam memenuhi hak atas pangan dan gizi di Indonesia, yang mengikutsertakan kementerian-kementerian yang relevan. Sebagaimana kata Oliver de Schutter (2014) dalam Special Reportnya, harus terdapat koordinasi lintas sektor dalam mereformasi sistem pangan ini, termasuk dalam urusan penggunaan data yang akurat.
Gusti Nur Asla Shabia
Dept. Riset dan Advokasi FIAN Indonesia
REFERENSI
Arbar, T. F. (2021, Maret 15). Jreng! RI-Thailand Siap Teken MoU Impor Beras 1 Juta Ton. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/news/20210315142217-4-230222/jreng-ri-thailand-siap-teken-mou-impor-beras-1-juta-ton
Bayu, D. J. (2021, Maret 10). Simpang Siur Data Beras di Balik Polemik Impor. Katadata. Diakses dari https://katadata.co.id/muhammadridhoi/analisisdata/60488562d283d/simpang-siur-data-beras-di-balik-polemik-impor?utm_source=Social&utm_medium=Instagram&utm_campaign=Analisis_Oka&utm_content=later-15312033.
CNN Indonesia. (2021, Maret 22). Faisal Basri soal Impor Beras: Jangan Mengada-ada. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210322174946-92-620645/faisal-basri-soal-impor-beras-jangan-mengada-ada
De Schutter, O. (2017). The political economy of food systems reform. European Review of Agricultural Economics, 1-27. DOI 10.1093/erae/jbx009
De Schutter, O. (2014). Final report: The transformative potential of the right to food. Report of the Special Rapporteur on the right to food, Oliver de Schutter, to Human Rights Council.
Khudori. (2021, Maret 12). Salah Urus Impor Beras 1 Juta Ton. Korang Kompas. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/opini/2021/03/12/salah-urus-impor-beras-1-juta-ton/.
Kompas. (2021, Maret 13). Impor Bukan Solusi Defisit. E-Paper Kompas, hlm. 9. Diakses dari https://epaper.kompas.id/pdf/show/20210313.
Florentin, V. dan Larissa. (2021, Maret 22). Terdorong Sentimen Positif Bulan Suci. Koran Tempo. Diakses dari https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/463226/saham-barang-konsumsi-berpotensi-melesat-di-bulan-suci-ramadan