[infogram id=”9f8b4af8-41aa-4e2e-8b13-df07177ad795″ prefix=”lu1″ format=”interactive” title=”Indeks Pangan”]
Beberapa waktu yang lalu Arif Satria, Rektor IPB menyebutkan bahwa Indeks Pangan Indonesia lebih buruk dari Ethiopia dan Zimbabwe. Data ini mengacu pada Food Sustainability Index (FSI) yang menempatkan Indonesia di peringkat 60 kalah jauh dengan Zimbabwe peringkat 31 dan Ethiopia peringkat 27.
Food Sustainability Index adalah keluaran dari Economist Intelligence Unit (EIU) bersama sebuah foundation bernama Barilla Center-for Food & Nutrition (BCFN). Index tersebut mengacu tiga indikator utama. Dua indikator adalah limbah pangan dan pertanian yang berkelanjutan alias tidak merusak lingkungan dan menjaga ekonomi-sosial sekitarnya. Indikator ketiga atau terakhir adalah persoalan nutrisi seperti obesitas.
Indeks ini dirancang melalui studi dan analisis hubungan antara makanan dengan faktor science, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sehingga food sustainability diartikan sebagai suatu kondisi dimana sistem pangan suatu negara dapat mempertahankan sumber daya alamnya tanpa kehabisan; atau bersusah payah mendapatkannya; atau berkompromi dengan kesehatan masyarakatnya, dan tanpa berkompromi dengan akses generasi penerusnya terhadap pangan.
Beberapa hari setelah itu, Arif Satria mengklarifikasi pernyataanya tentang status ketahanan pangan Indonesia yang merujuk pada Food Sustainable Index (GFSI). Jika merujuk pada Index ini Indonesia masih unggul dari negara lain. Namun benarkah demikian?
Dalam beberapa tahun terakhir posisi Indonesia memangg mengalami kenaikan yang saat ini berada di peringkat 62 dari 113 negara. Nilai Indeks Keseluruhan pada data tersebut ditentukan oleh tiga aspek, yaitu Keterjangkauan, Ketersediaan, Kualitas dan Keamanan. Aspek Keterjangkauan dan Ketersediaan untuk Indonesia meningkatmemang naik namun dari aspek Kualitas dan Keamanan masih sangat rendah.
[infogram id=”b21d5096-0f04-4525-a514-02252bdc6d00″ prefix=”NHY” format=”interactive” title=”Malnutrisi dan Stunting”]
Di dalam GFSI juga terdapat data mengenai kekurangan Gizi pada anak-anak. Terlihat angka tersebut masih jauh di bawah standar untuk kasus stunting yang bisa ditoleransi oleh Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO) yaitu paling banyak setidaknya hanya 20 persen. Masalah kekurangan gizi masih menjadi salah satu isu penting yang dihadapi masyarakat Indonesia. Faktor kesehatan serta pemenuhan gizi seimbang menjadi kebutuhan dasar dan fundamental yang sepatutnya dipenuhi negara.
Food Sustainable Index lebih mengukur keberlanjutan pemenuhan pangan dengan pertanian berkelanjutan, food loss, food waste dan kandungan gizinya. Sedangkan Global Food Security Index mengukur ketahanan pangan dari sisi ketersediaan keterjangkauan dan kualitas serta keamanan pangan.
Selain itu juga ada Global Hunger Index, dari data tahun 2020 Indonesia berada di tingkat 70 dari 107 negara atau berada di level moderat. Indikator yang diukur adalah persentase kekurangan makanan dari populasi, prevalensi berat balita di bawah standar, malnutrisi, stunting, wasting dan tingkat kematian balita. Indeks berskala 0 (terbaik) hingga 100 (terburuk) dengan beberapa kategori dari tingkat kelaparan rendah hingga sangat mengkhawatirkan.
Semua indekx tersebut seperti mengingatkan kita bahwa Indonesia masih memiliki segudang pekerjaan rumah untuk membenahi urusan pangan. Sudah saatnya Pemerintah merombak sistem pangan agar berkeadilan untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan tergantung pada sistem pangan global yang dikendalikan oleh korporasi dan mafia pangan. Jika kita berdaulat atas pangan kita, maka dengan sendirinya indeks pangan kita akan meningkat.