Catatan dari Pertemuan Kesepuluh Badan Pengatur Perjanjian Internasional tentang Sumberdaya Genetik Tanaman dan Pertanian (GB10 of ITPGRFA) di Roma 20-24 November 2023
Dian Pratiwi Pribadi – FIAN Indonesia
Badan Pengatur dari Perjanjian Internasional tentang Sumberdaya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian (Governing Body of International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture atau ITPGRFA) memiliki agenda rutin untuk mengevaluasi perjanjian tersebut serta mempertemukan seluruh anggotanya dengan berbagai poin pembahasan. Di tahun 2023 ini sesi kesepuluh, atau biasa disebut sebagai GB10, dilangsungkan di Kantor Pusat Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Roma pada 20-24 November. Partisipan GB10 kali ini adalah delegasi negara-negara anggota ITPGRFA (disebut sebagai Contracting Party) sejumlah 151 negara serta perwakilan dari perusahaan benih, sektor swasta, peneliti dari universitas dan lembaga internasional, organisasi antar-pemerintah, organisasi masyarakat sipil (CSO), organisasi petani, dan masyarakat umum. Tema yang diusung adalah “Dari Benih menjadi Solusi Inovatif, menyelamatkan masa depan kita: berkontribusi pada implementasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global (GBF) untuk sistem pangan yang berkelanjutan”.
Sebagai salah satu partisipan yang hadir dalam pertemuan ini, FIAN Indonesia menyoroti hasil pembahasan dan proses diskusi dari perspektif hak atas pangan dan gizi. Selaras dengan FIAN Internasional dan International Planning Committee on Food Sovereignty (IPC), FIAN Indonesia menggarisbawahi beberapa poin pembahasan dalam GB10 sebagai berikut:
Pada pembahasan Agenda poin 9.2 tentang Perbaikan Sistem Multilateral (MLS) ada tiga isu penting, yakni Digital Sequencing Information (DSI), skala pembayaran, dan pembagian keuntungan. Usulan dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) tentang hak paten atas DSI menghambat akses dan penggunaan secara berkelanjutan (access and sustainable use) sumberdaya genetik dalam Sistem Multilateral sekaligus mengancam hak-hak petani karena membuka peluang terjadinya pembajakan biologis (biopiracy). Ada 64 tanaman yang masuk dalam MLS (hanya kelapa dan jagung yang berasal dari negeri tropis). Permasalahannya adalah bahwa materi genetik tersedia secara online dalam bentuk digital yang rentan dibajak, hak paten atas komponen genetik tanaman hanya untuk industri dan tidak ada untuk petani sehingga ini melanggar Pasal 12.3D tentang pencegahan keuntungan dari klaim atas hak paten dari DSI.
Pernyataan tentang hak paten tersebut diperkuat dalam laporan Kementerian Hukum dan HAM bahwa perlindungan varietas tanaman menjadi bagian dari hak kekayaan intelektual atau hak paten yang termasuk dalam hak milik perindustrian. Konsekuensinya, hasil penemuan atau ciptaan dari hak paten ini bisa dipakai untuk kepentingan industri (Supancana, 2011). Dari berbagai kasus hukum berupa pelanggaran hak paten benih oleh petani di Kediri dan sekitarnya menunjukkan terjadinya pelanggaran hak petani atas pangan dan gizi. Akibat adanya hak paten benih, petani dijauhkan dari sumber penghidupannya dan kehilangan hak dasarnya dalam bertani karena benih telah dikuasai oleh industri (Ismail & Djana, 2021).
Pembahasan selanjutnya tentang implementasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global (GBF). Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) menjadi rujukan utama seluruh hukum internasional dimana didalamnya mengandung perlindungan hak-hak petani dalam sistem benih petani dan masyarakat adat serta perlindungan sistem produksi agroekologisnya. Menjadi penting untuk membedakan konservasi in-situ dan ex-situ pada GBF Objective 4, karena pada definisi awal memakai istilah konservasi on-farm yang artinya konservasi dalam sistem benih petani dan masyarakat adat dalam sistem produksi pangan agroekologis, dimana telah berlangsung bertahun-tahun. Dalam ITPGRFA Pasal 12.3(d) menyebutkan bahwa DSI termasuk komponen genetik PGRFA dan bukan produk riset, sementara pembagian keuntungan tidak mampu melindungi sumberdaya genetik dan pengetahuan tradisional. Pembahasan dalam tim kerja tentang MLS diharapkan tidak hanya soal pembagian keuntungan tapi juga larangan klaim pada hak kekayaan intelektual atas DSI. Selain itu, setiap Contracting Party supaya menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai Protokol Cartagena untuk mencegah kontaminasi pada sistem benih petani/tradisional dari GMO dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional mereka.
Pemerintah Indonesia berkepentingan penuh terkait perlindungan terhadap sumberdaya genetik dan pengetahuan tradisional serta sistem benih petani, termasuk konservasi on-farm, terhadap klaim hak paten atas DSI dan kontaminasi dari GMO. Berlakunya perlindungan varietas tanaman yang tersurat dalam UU Sistem Budidaya Tanaman, UU Perlindungan Varietas Tanaman dan UU Paten menghasilkan pengembangan teknologi pemuliaan tanaman yang bersifat private rights tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia yang berkonsep komunal atau bersifat public rights (Bustani, Saleh, & Kansil, 2022). Sistem pangan tradisional, termasuk didalamnya sistem benih petani, beserta pengetahuannya terancam rusak atau hilang karena terjadinya pembajakan dan kontaminasi genetik akibat penerapan MLS. Pelanggaran hak atas pangan dan gizi dalam hal ini terjadi lebih luas karena tidak hanya dari perspektif hukum yang dialami petani produsen benih saja, tetapi juga dari perspektif budaya yang dialami petani dan masyarakat adat dan pedesaan dimana sistem pangan tradisional berada. Sistem perbenihan petani dalam kenyataannya memperkuat sistem pangan menjadi lebih tahan terhadap perubahan iklim, hama dan penyakit, serta memperkaya keanekaragaman hayati dan pengetahuan pembenihan. Hak atas pangan dan gizi melekat pada sistem perbenihan petani dimana seluruh masyarakat memiliki akses terhadap pangan sesuai nilai budaya mereka (Fakhri, 2022).
Kemudian terkait pengembangan Kubah Benih Global Svalbard di Norwegia, IPC berkeyakinan bahwa bank benih tidak sesuai bagi petani karena yang dikuasai petani adalah karakter fisik bukan genetik, hak pemulia tidak sama dengan hak petani, serta belum ada transparansi dalam bank benih internasional tentang nama-nama pengguna/aksesor materi genetik. IPC mempertanyakan akses petani pada bank benih dan materi genetik tanaman di kubah benih yang dikelola CGIAR, sementara keyakinan IPC bahwa petani lebih baik menggunakan bank benih komunitas. Kepentingan IPC adalah memfasilitasi praktik konservasi on-farm dan pendanaannya, daripada konservasi ex-situ dan in-vitro yang lebih menarik investasi dari sektor swasta. Intinya, perlindungan dan pelestarian sistem pangan petani dimana petani serta masyarakat adat dan pedesaan diberikan akses seluas-luasnya terhadap benih dan sumberdaya genetik tanaman dan pertanian mampu memenuhi, menghormati dan melindungi hak atas pangan petani, masyarakat adat, dan komunitas pedesaan (Fakhri, 2022).
FIAN Indonesia mengambil sikap terkait ITPGRFA bahwa PERTAMA, perjanjian ini harus lebih memberikan perhatian dan perlindungan serta berpihak pada hak atas pangan dan gizi petani, masyarakat adat, dan komunitas pedesaan melalui pelestarian dan pengembangan sistem pangan petani yang mendayagunakan sumberdaya lokal, berbasis komunitas, dan berdaulat dari mekanisme pasar dan kebijakan neoliberal yang berkembang dalam sistem pangan industri, serta mampu bertahan dari perubahan iklim, hama dan penyakit. Pernyataan ini selaras dengan kritik FIAN Indonesia terhadap penyeleggaraan UN Food System Summit 2021 yang lalu (FIAN-Indonesia, 2021). KEDUA, perjanjian ini harus memperhatikan dan melindungi hak-hak petani dan masyarakat adat dan pedesaan yang mempraktikkan sistem konservasi on-farm dan kebijakan lokal tentang keanekaragaman hayati secara turun-temurun selama berabad-abad lamanya sehingga menjamin pembagian keuntungan yang adil bagi mereka. Untuk itu, segala bentuk kriminalisasi dan pengusiran/pengucilan terhadap petani, masyarakat adat, dan komunitas pedesaan dalam upaya memperjuangkan hak atas pangan dan gizi harus dihentikan. FIAN Indonesia bersama jaringan organisasi masyarakat sipil mengeluarkan surat terbuka terkait hal ini sebagai respon terhadap pelaksanaan Global Biodiversity Framework di Montreal, Kanada 2022 (FIAN-Indonesia, 2022). Didalam kedua poin diatas juga mengandung pemahaman bahwa FIAN Indonesia mendukung setinggi-tingginya penegakan hak-hak petani sebagai produsen pangan sekaligus produsen dan perawat benih utama dalam ITPGRFA.
Referensi
Bustani, S., Saleh, R., & Kansil, C. S. (2022). Budaya Hukum Penerapan Perlindungan Varietas Tanaman dalam Mewujudkan Kedaulatan Pangan Indonesia di Era Global. Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum, 4(2), 1-11.
Fakhri, M. (2022). Report of the Special Rapporteur on the right to food: Seeds, right to life and farmers’ rights. Geneva: Human Rights Council of United Nations.
FIAN-Indonesia. (2021, June 16). Lembar Fakta: Kritik terhadap UN Food System 2021. Dipetik February 2, 2024, dari FIAN Indonesia: https://fian-indonesia.org/lembar-fakta-kritik-terhadap-unfss-2021/
FIAN-Indonesia. (2022, December 12). Position of Indonesia Civil Organizations for the Global Biodiversity Framework. Dipetik February 2, 2024, dari FIAN Indonesia: https://fian-indonesia.org/position-of-indonesia-civil-society-organizations-for-the-global-biodiversity-framework/
Ismail, A., & Djana, A. (2021, November). Globalisasi TNCs Agribisnis dan Dominasi atas Pangan. Jurnal Sains, Sosial dan Humaniora (JSSH), 1(2), 1-6.
Supancana. (2011). Pengkajian Hukum Perlindungan Varietas Tanaman Lokal Dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Badan Pembinaan hukum Nasional – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.