Medan, IDN Times – Food Estate atau lumbung pangan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak Oktober 2020 menuai pro kontra. Sudah empat bulan proyek itu berjalan. Bahkan di lahan Desa Riaria, Kecamatan Polung, Kabupaten Humbang Hasundutan dipilih menjadi areal percontohan dengan komoditas tanam meliputi bawang merah, bawang putih dan kentang, mulai masuk masa panen .
Di Sumatra Utara, proyek pembangunan Food Estate difokuskan pada areal super prioritas seluas 1.000 Hektare. Pembangunan dibagi ke dalam dua skema anggaran yaitu APBN seluas 215 Hektare dan investor seluas 785 Hektare.
Dalam skema APBN, dikelola oleh Ditjen Holtikultura (200 Hektare) dan Badan Litbang Pertanian (15 Hektare). Sedangkan dari skema investor dikelola oleh PT. Indofood (310 Hektare), PT. Champ (250 Hektare), PT. Calbee Wings (200 Hektare), dan gabungan 4 Perusahaan lain (25 Hektare).
Hasil monitoring Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatra Utara menunjukkan, hingga akhir Februari 2021, proyek Food Estate masih dilakukan di areal seluas 215 hektare. Lokasinya di Dusun IV Desa Riaria. Secara status, lahan tersebut merupakan hak milik 174 masyarakat yang terdiri dari 7 kelompok tani. Kawasan ini sudah dikeluarkan dari kawasan hutan sejak tahun 1979, sehingga sudah bersertifikat hak milik. Pembagian sertifikat dilakukan saat kedatangan Presiden bulan Oktober 2020 lalu.
1. Masyarakat tidak bisa mengambil kebijakan sendiri dalam pengelolaan lahan
Adinda Zahra Noviyanti, Staff Informasi dan Dokumentasi KontraS menyebutkan jika food estate membuat kebijakan di lahannya. Meskipun secara administrasi masyarakat merupakan pemilik lahan, namun segala hal yang menyangkut lahan, pengambilan keputusan dan proses pengelolaan tanaman harus menyesuaikan dengan skema Food Estate. Mulai dari jenis tanaman, sumber bibit, pupuk, hingga peyaluran hasil panen telah ditentukan dari Kementerian Pertanian ataupun Pemerintah Kabupaten.
“Masyarakat tidak bisa mengambil kebijakan sendiri, bahkan koperasi yang nantinya dibentuk untuk distribusi hasil panen pun adalah orang yang ditunjuk oleh Pemkab” kata Adinda dalam keterangan resmi KontraS Sumut, Selasa (02/2/2021).
Kementerian Pertanian mengucurkan dana Rp30 Miliar untuk tahun anggaran 2020. Dana pengembangan untuk setiap hektarnya mencapai Rp9 juta sampai 10 juta. Alokasinya untuk membuat bedengan, perawatan hingga distribusi panen yang disetor melalui kelompok tani.
Jumlah tersebut tidak termasuk bibit, pupuk, dan fasilitas lain seperti betor pengangkut dan selang air yang telah disediakan.
2. Berpotensi menimbulkan konflik berkepanjangan
Menurut KontraS Sumut, proyek food estate di Sumatra Utara perlu dikaji lebih mendalam. Lantaran, proyek ini masih menuai banyak polemik. Jika tidak disikapi secara bijak, agenda Proyek Strategis Nasional ini justru potensial menghadirkan konflik berkepanjangan.
Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam mengatakan, persoalan mendasar adalah soal penerimaan masyarakat dalam memandang pembangunan Food Estate. Di Desa Riaria misalnya, sekalipun masyarakat dengan senang hati menyambut kebijakan tersebut, namun tetap saja potensi lahirnya persoalan baru sangat besar.
Beberapa persoalan yang sudah ditabulasi antara lain, soal penentuan tapal batas lahan yang disertifikatkan, aturan pengelolaan yang sepenuhnya bergantung pada instruksi Pemerintah, hingga berubahnya pola pertanian masyarakat dari kemenyan, andaliman menjadi kentang, bawang merah dan bawang Putih.
“Selama ini masyarakat hidup dari tanaman kemenyan dan andaliman dengan metode pengambilan hasil dua minggu sekali. Berubahnya jenis tanaman memaksa masyarakat harus setiap hari turun ke lahan. Perbedaan pola bertani secara mendadak tentu berpengaruh pada kinerja dan hasil yang diharapkan,” kata Amin.
3. Luasan hutan adat yang berkurang karena food estate
Penelusuran KontraS Sumut pada Masyarakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta menunjukkan, rencana pembangunan Food Estate dalam skala besar justru ditenggarai sebagai salah satu penyebab berkurangnya luasan hutan adat mereka. Terbitnya SK.8172/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 Tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Hamijon Seluas 2.393,83 menimbulkan tanda tanya besar. Luas hutan adat yang mereka terima jauh menyusut dari usulan awal yang mencapai 6.000 Hektar.
“Munculnya berbagai polemik itu disebabkan pemerintah tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat dalam mengambil kebijakan pembangunan Food Estate. Proses penentuan lahan, sosialisasi dan persipan penanaman pun dilakukan tidak lebih dari 5 bulan,” ungkapnya.
4. Wacana pelibatan Komcad bisa menuai konflik dan pelanggaran HAM
KontraS juga menilai, potensi konflik akan semakin besar. Ini disebabkan oleh pengembangan proyek Food Estate menggunakan pendekatan pertahanan dan keamanan. Hal ini dibuktikan dari leading sector proyek Food Estate dipegang oleh Kementerian Pertahanan, bukan Kementerian Pertanian.
“Food Estate hanya memperbanyak deforestasi dan Konflik. Terjemahannya di lapangan bisa kita saksikan melalui wacana Pelibatan Komponen Cadangan (Komcad) yang baru-baru ini telah memiliki payung hukum melalui PP 3/2021. Ada juga surat Telegram Kapolri Nomor ST/41/I/Ops.2./2021 ihwal mendukung kebijakan pemerintah membangun ketahanan pangan nasional. Potensi konflik dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sangat mungkin terjadi kapan saja” Ucap Amin.
5. Potensi deforestasi semakin tinggi
Deforestasi hutan juga masih berpotensi terjadi di Sumatera Utara. Sekalipun hingga saat ini pembangunan Food Estate di Sumatera Utara masih berada diluar kawasan hutan (215 Hektar), namun lahirnya PERMEN LHK 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate bisa menjadi pintu gerbang deforestasi.
Rahmad Muhammad, Staff Kajian Dan Penelitian KontraS menilai PERMEN LHK 24/2020. menyediakan mekanisme perubahan hutan Lindung menjadi Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan (KHKP) guna mendukung proyek Food Estate. PERMEN tersebut memang menyatakan bahwa hanya hutan lindung yang tidak lagi berfungsi lindung yang boleh digunakan.
“Idealnya Pemerintah mengambil kebijakan memperbaiki hutan lindung yang sudah rusak, bukan sebaliknya,” ujarnya.
6. Penggunaan kawasan hutan untuk food estate diduga melanggar aturan yang lebih tinggi
Rahmat juga menduga, penggunaan kawasan hutan untuk proyek Food Estate potensial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Misalnya dalam UU 41/1999 Tentang kehutanan.
Fungsi hutan hanya dapat digunakan sebagai fungsi kawasan, jasa lingkungan dan pemanfaat hutan bukan kayu. Dalam pasal 30 Permen LHK 24/2020, Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan dapat berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu.
“Hal ini berarti bahwa kawasan hutan lindung dapat ditebang kayunya dengan dasar KHKP,” ungkap Rahmad
Peraturan tersebut juga memberikan persyaratan membuka lahan dengan mekanisme KLHS (Kajian Lingkungn Hidup Strategis) cepat. Penggunaan KLHS cepat terkesan hanya memudahkan, sedangkan pada penyelenggaran tidak matang.
Data yang dihimpun KontraS Sumut, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengusulkan 61.042,09 Hektar kawasan hutan untuk dijadikan wilayah pengembangan Food Estate yang tersebar di Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Pakpakbharat. Dari usulan tersebut, Kementerian Lingkungan Hutan dan Kehutanan (KLHK) menyetujui seluas 33.942 Hektar. Kawasan itu terdiri dari dua jenis. Pertama, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 12.790 Hektar. Kedua, pencadangan kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi tetap (HPT) seluas 21.152 Ha.
7. Pembangunan harusnya tidak menimbulkan polemik baru
KontraS pada dasarnya sepakat jika ancaman krisis pangan ditengah pandemi COVID-19 harus segera diatasi. Namun mengatasinya bukan dengan mempercepat laju pembangunan Food Estate. Dalam banyak aspek, ketergesa-gesaan membangun proyek ini mengakibatkan berbagai persoalan baru. Mulai dari potensi konflik hingga mendorong massifnya kerusakan lingkungan.
“Kemasan proyek Food Estate sebagai solusi ketahanan pangan tidak seindah kenyataan. Untuk itu, Pemerintah harusnya mengkaji ulang rencana pembangunan Food Estate berskala besar di Sumatera Utara. Dalam perspektif KontraS, mengatasi persoalan pangan adalah dengan melaksanakan Reforma Agraria. Yakni melakukan penataan ulang struktur penguasaan tanah, lalu kemudian mendistribusikannya pada petani dan masyarakat kecil,” pungkas Amin.
Sumber: IDN Times – https://sumut.idntimes.com/news/sumut/prayugo-utomo-1/kontras-sumut-food-estate-hanya-perbanyak-deforestasi-dan-konflik