Ditulis Oleh Yuliana dimuat di Kalteng Pos Online pada 05 Juli 2025
Kelaparan sebagai Masalah Global-Nasional
Kelaparan masih menjadi masalah kemanusiaan serius diabad 21 ini. (Global Hunger Index, 2024) mengeluarkan data tentang tingkat kelaparan yang dialami oleh negara-negara di dunia, dimana Indonesia berada pada peringkat 77 dari 127 negara dalam Indeks Kelaparan Global (Global Hunger Index/GHI). Skor GHI Indonesia adalah 16,9, yang masuk dalam kategori kelaparan moderat. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan tingkat kelaparan tertinggi setelah Timor Leste dan Laos. Kompas (26/9/2024) “Tingkat Kelaparan RI Nomor 2 di Asia Tenggara” mencatat bahwa Indonesia menempati urutan ke dua sebagai negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di kawasan Asia Tenggara, setelah Timor Leste.
Tirto.id (21/10/2024) “Kelaparan Masih Jadi PR Besar, Pemerintah Harus Apa?” bahwa diantara penyumbang angka kelaparan yang tinggi adalah stunting dan wasting. Menurut data Kementerian Kesehatan pada 2022, stunting di Indonesia mencapai 21,6 persen dan pemerintah menargetkan angka stunting turun hingga 14 persen pada 2024. Stunting dan wasting penyumbang kelaparan, merupakan fenomena gunung es, masalah yang terlihat dipermukaan. Namun soal kelaparan merupakan soal pangan yang hilang (food loss) dan kualitas pangan yang buruk. Pangan yang hilang dapat disebabkan karena faktor eksternal manusia seperti kondisi lingkungan, infrastruktur yang buruk (Pusat Kesehatan dan Gizi Manusia Universitas Gadjah Mada, 2024).
Multi Makna Kelaparan
Lebih lanjut, soal kelaparan tidak cukup dipahami sebagai kondisi tubuh manusia kekurangan pangan secara teknis/absolut, namun bicara tentang keputusan politik yaitu bicara ketidakadilan dalam distribusi pangan dan akses terhadap sumber daya (George, 2007). Pertanyaannya, bagaimana ketidakadilan distribusi pangan dan akses terhadap sumber daya dapat menyebabkan kelaparan?
Sumber pangan tidak hanya bicara dari sektor pertanian saja sebagaimana data (Badan Pusat Statistik, 2023) bahwa nota bene penduduk Indonesia menjadikan sektor pertanian pangan sebagai sumber utama. Di Kalimantan Tengah sendiri sumber pangan utama juga berasal dari hutan. Hutan bukan sekedar definisi Badan Pangan PBB (FAO), yaitu hamparan lahan dengan luas lebih dari 0,50 hektar yang ditutupi pepohonan dengan tinggi lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari 10 persen atau ditutupi pepohonan yang secara alamiah tumbuh hingga ketinggian lebih dari 5 meter. Tapi, bagi masyarakat adat Kalimantan Tengah, hutan bukan sekedar pohon, namun sumber kehidupan. Di dalam hutan ada obat-obatan, bahan baku kerajinan, bahkan bahan bangunan, juga bicara hubungan spritualitas antara manusia dan alam (keyakinan bahwa pohon ada penunggu, hal gaib, dsb), bahkan hutan adalah pangan. Hutan membentuk identitas masyarakat adat Kalimantan Tengah.
Hutan dan pangan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan masyarakat adat Kalimantan Tengah, karena pangan lokal yang berasal dari hasil hutan lebih beragam, dapat diperoleh gratis, tumbuh alami. Berbagai jenis pangan lokal yang dikenal di Kalimantan Tengah diantaranya sayur mayur lokal hasil hutan, seperti ujau (anak bambu), bajei &kalakai (jenis pakis), kulat (jamur), singkah uwei (pucuk rotan muda), patik (kecombrang), kanjat, terong asam, tabantal, dll. Hutan juga menyediakan madu, dan buah-buahan seperti durian termasuk paken (jenis durian hutan), tanggaring, lampesu, ramania, buah embak (kapul putih), dsb. Juga pangan hewani seperti babi hutan, kijang, palanduk (kancil), dsb.
Hanya saja hutan yang dapat diakses oleh masyarakat adat sebagai ranah kehidupan mereka, turut terinvasi oleh industri ekstraktif kelapa sawit. Sebagaimana yang telah terjadi yaitu “Hilangnya Akses Hutan dan Danau Masyarakat Adat di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah Akibat Ekspansi Sawit” dalam TribunKalteng (2/2/2025).
Deforestasi Sebagai Hulu Masalah: Kasus Kalteng
Kabupaten Seruyan bahkan salah satu yang memiliki perusahaan perkebunan sawit terluas sekitar 370.000 hektare, sebagaimana diberitakan dalam Radarsampit (3/5/2025) “Inilah Sebaran Luas Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah dari yang Terluas Hingga Tersempit” menjadikannya sebagai salah satu kabupaten dengan areal sawit terbesar di Kalimantan Tengah. Namun, sebaliknya mencatat kategori penduduk miskin tertinggi di provinsi ini, sebagaimana Radarsampit (1/5/2025) “Inilah Daerah dengan Tingkat Kemiskinan Tertinggi di Kalteng” menduduki persentase miskin 7,08 persen setara dengan sekitar 16.060 jiwa penduduk miskin. Serta secara khusus ketika bicara stunting sebagai penyumbang kelaparan di kabupaten tersebut, bahwa sebelumnya angka stunting di Seruyan berada di 34,7 persen, pada tahun 2023 turun menjadi 25,8 persen sebagaimana diberitakan dalam Borneonews (6/5/2024) “Angka Prevalensi Stunting di Seruyan Alami Penurunan”.
Potret kemiskinan ekstrem dalam Wajahborneo (4/12/2024) “Berhasil Turunkan Kesmiskinan, Seruyan Terbaik II di Kalteng” bagi Pemerintah Kabupaten Seruyan bahwa kemiskinan ekstrem didefinisikan sebagai mereka yang hidup dibawah Rp11. 571, 21 perkapita perhari atau Rp351. 957, 40 perkapita perbulan. Sehingga “Langkah Tanggulangi Kemiskinan di Seruyan” dalam Gokalteng.com (10/11/2023) memunculkan upaya dan terobosan teknis, termasuk pemberdayaan, sinergi dan harmonisasi antara Pemerintah pusat dan daerah, swasta, dan masyaraka, serta terbukanya peluang usaha, maupun kesempatan kerja, serta lapangan pekerjaan, menjadi agenda penanggulangan keluarga miskin rawan gizi dan kesehatan.
Situasi ini memperlihatkan soal kemiskinan sebagai solusi teknis semata, namun belum menyentuh kemiskinan sebagaimana pemikiran Sajogyo (Mahmud, 2019) dimana kemiskinan struktural bukan hanya akibat dari keadaan individu tetapi berakar kuat pada faktor-faktor sistemik seperti kepemilikan tanah, akses ke sumber daya, dan dinamika sosial-politik. Begitupula dengan kelaparan, hanya bicara solusi teknis nya yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG). Dalam Kompas (14/1/2025) tentang “Dukung Program Makan Bergizi Gratis, Pemprov Kalteng Siapkan Anggaran Rp 70 Miliar dari BTT” dimana Kalimantan Tengah telah menyediakan anggaran 70 Milyar melalui Belanja Tidak Terduga. Kabupaten Seruyan menjadi salah satu sasarannya pada “Program MBG di Kalimantan Tengah Menyasar 4 Kabupaten/Kota di Tahap Awal” dalam Kalimantan.Bisnis (14/1/2025).
Padahal soal kemiskinan dan kelaparan yang disumbangkan oleh kondisi stunting atau gizi buruk, tidak cukup solusi teknis, namun soal kebijakan sosial politik tentang akses terhadap sumber daya, akses terhadap tanah, akses terhadap pangan. Dalam hal ini hutan sebagai sumber pangan lokal yang kini beralih fungsi menjadi wilayah konsesi perkebunan sawit, merusak hutan dan menghilangkan sumber ragam pangan lokal yang sehat dan gratis. Konsekuensi logis dari hal ini adalah kemiskinan dan kelaparan, yaitu kondisi masyarakat kehilangan akses ke sumber daya hutan untuk memenuhi gizi yang sehat, gratis, dari pangan yang beragam. Rusak dan hilangnya sumber pangan lokal menyebabkan ketergantungan masyarakat dengan pangan instan, tidak sehat.
Refleksi untuk Aksi
Kemiskinan dan kelaparan, gizi buruk adalah kondisi hilir, ekspresi akhir dari masalah utama yaitu persoalan hulu tentang kebijakan alih fungsi lahan menjadi wilayah industry ekstraktif, bahkan mengubah lahan perladangan menjadi wilayah food estate yang menghilangkan keragaman pangan lokal masyarakat, dan pangan tidak sehat karena mengandalkan pupuk dan pestisida. Bahkan corak pertanian jauh dari tradisi berladang masyarakat adat Kalimantan Tengah.
Masyarakat miskin tidak akan mampu membeli pangan sehat, karena yang sehat itu mahal. Sementara pangan lokal yang gratis dan sehat yang dapat diperoleh dari hutan, telah rusak dan hilang akibat kebijakan alih fungsi lahan menjadi wilayah industry ekstraktif dan cetak sawah.
Kebijakan alih fungsi lahan di Kalimantan Tengah yang memberi akses terhadap iklim investasi yang massiv, mengabaikan perlindungan terhadap wilayah produktif masyarakat baik itu hutan maupun sungai atau danau sebagai sumber pangan lokal. Urgensi soal krisis agraria dan bencana kelaparan dengan melakukan tindakan penghentian (stop) deforestasi dan krisis agraria, lakukan audit perijinan Sumber Daya Alam yang nakal, dan pemulihan ekosistem pangan lokal.