Pandemi adalah krisis yang melahirkan krisis. Seperti efek domino, pandemi bukan sekedar kondisi krisis kesehatan, tapi ia telah bergulir menjadi krisis keuangan, krisis pangan, krisis politik pemerintahan, dan berpotensi menjadi krisis sosial, sebagaimana sudah terjadi di India. Maka tindakan untuk menghadapi krisis yang melahirkan krisis adalah tindakan cepat, tapi harus akurat. Krisis pangan yang lahir dari pandemi itu sendiri juga adalah krisis yang sistemik, karena pangan membentuk sistemnya sendiri yang terhubung dengan banyak sistem lainnya. Sistem pangan melingkupi semua faktor dan aktor yang membentuk dan mempengaruhi proses produksi, jaringan distribusi dan konsumsi pangan.
Dalam kondisi pandemi, mengatur sistem pangan menjadi tindakan negara yang paling krusial untuk memenuhi hak rakyat atas pangan. Untuk mengatur sistem pangan, atau tepatnya: mengatur-ulang kepengaturan pangan untuk mengatasi krisis, maka dibutuhkan ketersediaan data yang akurat secara cepat. Data adalah syarat mutlak bagi negara untuk bertindak. Jenis data yang diperlukan untuk analisa cepat, salah satunya adalah: data spasial. Data spasial yang perlu tersedia untuk negara dapat memenuhi, menghormati dan melindungi hak rakyat atas pangan di kala pandemi, adalah: 1) data spasial tentang status penyebaran penyakit, di mana zona merah berbahaya dan zona hijau yang masih aman; 2) data spasial tentang wilayah surplus produksi pangan dan minus produksi pangan; 3) data spasial rawan kelaparan, baik yang ada sebelum pandemi, maupun yang muncul sesudah pandemi.
Ketiga data spasial ini apabila ditumpangtindihkan akan menghasilkan setidaknya kesimpulan-kesimpulan penting sbb: 1) bagaimana membangun jalur logistik dari lokasi rawan kelaparan yang memerlukan pasokan suplai pangan dan lokasi suplai pangan terdekat, 2) lokasi suplai pangan yang masih aman dan lokasi suplai pangan yang memasuki zona bahaya untuk kemudian diputuskan pembatasan sosial, 3) jalur logistik yang perlu dipertahankan untuk memastikan kelancaran suplai pangan dari lokasi-lokasi perkotaan yang mengalami PSBB tapi tidak memiliki sumber pangan terdekat, sehingga memerlukan jalur pengiriman via laut dan udara. Semua kesimpulan ini berada dalam asumsi bahwa: negara bisa memiliki stok pangan yang cukup karena produksi pangan ekspor dialihkan menjadi pangan untuk konsumsi domestik. Dengan kata lain, ini momentum yang paling tepat untuk merealisasikan kedaulatan pangan secara konkrit. Tidak ada jalan lain, karena Yuli, seorang buruh perempuan serabutan di Serang, sudah meninggal karena kelaparan, meninggalkan empat orang anak yang juga dalam kondisi kelaparan. Penolakan Ketua RT Yuli atas permintaan bantuan pangan karena belum ada bantuan dari pemerintah tidak bisa lagi diterima sebagai kewajaran, tapi merupakan indikasi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. Yuli-yuli lainnya tak terdeteksi di negri pandemi ini. Wafatnya Yuli karena lapar -bukan karena sakit- di tengah pandemi bukan lagi tanda krisis, tapi memang sudah krisis pangan dan negara lalai memenuhi hak warganya atas pangan. Negara perlu mengatur ulang rantai produksi dan distribusi pangan, serta memastikan pangan dari produsen sampai kepada konsumen tanpa melulu mengandalkan mekanisme pasar normal. Apalagi pasar global!
Garda terdepan dari situasi pandemi ini, dengan demikian, adalah unit terkecil pemerintahan, yaitu desa dan kelurahan. Jika petugas medis tidak lagi mungkin bekerja seperti langgam biasanya, maka demikian pula dengan aparat pemerintah garda depan. Data akurat ada di tangan kesediaan aparat desa dan kelurahan untuk menjadi “pahlawan covid-19” dengan membentuk sistem pendataan yang handal, setidaknya menyangkut warga yang berpotensi tidak bisa memenuhi pangan, data tentang jumlah dan jenis produksi dan jalur distribusi pangan. Kemudian, penting untuk aparat desa dan kelurahan untuk menentukan kategori desanya, apakah desa produsen pangan atau bukan. Jika merupakan desa produsen pangan, maka koordinasi antar-desa dalam kecamatan, atau pun koordinasi antar-kecamatan untuk membangun jalur logistik pangan menjadi tindakan darurat pertama yang perlu dilakukan. Penjagaan jarak fisik dan sosial tetap menjadi pedoman dalam membangun jalur logistik pangan lokal yang diinisiasi dalam skala kecamatan dan kabupaten. Kemudian, di tingkat provinsi data dari tingkat desa digunakan untuk mengidentifikasi keperluan pangan antar-kabupaten dan provinsi menyiapkan jalur logistik antar-kabupaten. Setidaknya, jika sampai di tingkat provinsi jalur logistik lokal yang menghubungkan pangan antar-daerah dari produsen ke konsumen terbentuk, maka krisis pangan bisa diatasi dengan dimulai dari tingkat lokal. Maka tidak ada satu pun dinas pemerintah kabupaten dan provinsi yang boleh bernalar business as usual, karena penyikapan demikian adalah sama dengan petugas kesehatan menolak menangani pasien positif covid-19 dan mengundurkan diri sebagai PNS, seperti terjadi di Banten.
Ini adalah tawaran skenario untuk menolak negara krisis data. Karena krisis data adalah pangkal dari kejahatan negara untuk memenuhi hak warga negara. Satu saja prasyarat yang dibutuhkan untuk memenuhi skenario ini, yaitu: mengisolasi data dari politik kepentingan dan kepentingan poitik. Politisasi data, pada saat ini, bisa setara dengan kejahatan kemanusiaan karena sangat mungkin berujung pada kematian masal.
Dengan demikian, tulisan ini tidak membahas ribuan inisiatif warga yang sudah ada, karena itu terbentuk bukan oleh negara yang menyadari kewajiban untuk memenuhi hak atas pangan. Akan tetapi, tulisan ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa negara berkonsekuensi pada kejahatan kemanusiaan jika ada warga lapar di tengah pandemi, atau bahkan terjadi pada situasi tanpa pandemi. Karena kelaparan bukan sebuah normal baru, apalagi normal lama.
Laksmi A. Savitri
Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia