Di Indonesia, kekurangan gizi tetap menjadi masalah yang signifikan yg belum terselesaikan. Indonesia menderita kekurangan gizi yang cukup tinggi (defisiensi gizi makro dan mikro). Hari ini 25 Desember diperingati sebagai Gizi Nasional.
Pada masa Orde Lama masalah makanan dan gizi sempat mejadi concern pemerintah. Sebagai negara yang baru saja merdeka masalah makanan dan gizi rakyat menjadi permasalahan yang krusial. Menteri Kesehatan RI saat itu, J. Leimena menugaskan Prof. Poorwo Soedarmo untuk mengepalai Lembaga Makanan Rakyat untuk meningkatkan asupan gizi nasional dan mengatasi permasalahan kurang gizi rakyat Indonesia.
Saat itu LMR dikenal pula dengan sebutan Institut Voor Volksvoeding (IVV) yang merupakan bagian dari Lembaga Penelitian Kesehatan, Lembaga Eijckman. Karena hal inilah Prof. Poorwo Soedarmo dikenal sebagai Bapak Gizi Indonesia. Prof. Poorwo juga mendirikan Sekolah Djuru Penerang Makanan atau SDPM. Sekolah tersebut didirikan untuk membentuk kader-kader gizi dan bisa turun langsung ke masyarakat.
Saat ini 75 tahun setelah Indonesia merdeka, kita masih mengalami permasalahan yang sama. Kurang gizi yang dialami pada anak usia di bawah lima tahun antara lain stunting dan wasting masih menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Meskipun prevalensi kurang gizi tersebut cenderung mengalami penurunan dari tahun 2007 hingga 2018 namun angkanya masih tinggi.
Stunting pada anak adalah bentuk kekurangan gizi yang paling umum terjadi. Tahun 2018, Riskesdas menunjukan prevalensi stunting pada anak usia di bawah dua tahun sebesar 29,9 %. Karena tidak meratanya pembangunan dan distribusi pangan bergizi, data tahun 2014 menunjukkan bahwa stunting sangat umum terjadi di daerah tertinggal seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) yg mencapai 51,7 %. Sebagian besar provinsi lain (28 dari 34 provinsi) masih memiliki prevalensi stunting di atas 30%, yang dikategorikan oleh WHO sebagai prevalensi yang sangat tinggi dalam masalah kesehatan masyarakat.
Wasting adalah bentuk kekurangan gizi yang sangat serius karena sangat meningkatkan risiko kematian dan kesakitan. Indonesia memiliki tingkat kekurangan gizi akut tertinggi keempat di dunia, dengan sekitar tiga juta anak balita mengalami wasting (kurus), diantaranya yakni 1,4 juta anak mengalami sangat kurus (Kementerian Kesehatan, 2013).
Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mewajibkan pemerintah untuk menanggulangi kekurangan gizi, salah satunya, yaitu dengan upaya perbaikan gizi untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat. Di dalam UU Pangan juga menyatakan bahwa pemerintah harus menetapkan kebijakan di bidang gizi untuk perbaikan status gizi masyarakat. Jika dilihat lagi ada begitu banyak peraturan baik yang dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang mengatur tentang hal ini. Namun semua hanyalah diatas kertas.
Untuk memenuhi kebutuhan gizi rakyatnya, pemerintah harus membuka akses selus-luasnya dan mendukung pangan lokal yang sehat dan beragam. Jangan ada lagi penyeragaman pangan dan monompoli dari korporasi pangan. Namun, pemerintah tidak cukup serius dalam mengatasi masalah pangan dan gizi rakyat. Dibutuhkan terobosan yang luar biasa, kemaupan politik dan keberpihakan yang tinggi oleh pemerintah dan seluruh elemen masyarakat. Jika masalah ini terus berlarut-larut terjadi maka kita maka kita patut menduga bahwa negara telah abai dalam menjalankan kewajibannya dan sengaja membiarkan hal ini terus terjadi.