Detik X – Gaduh harga minyak goreng berujung pada pemanggilan sejumlah pengusaha minyak goreng ke kantor Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Jalan Insinyur Haji Juanda, Jakarta Pusat, pada Kamis, 4 Februari lalu. Mereka dipanggil terkait adanya indikasi praktik kartel yang diduga telah mempengaruhi kenaikan harga minyak goreng dalam setahun terakhir. Kartel merupakan praktik lancung pebisnis untuk mengatur harga suatu barang dan menguasai pasar.
Sumber detikX di KPPU mengatakan sudah ada tujuh perusahaan minyak goreng yang dipanggil untuk dilakukan pemeriksaan. Namun, dari tujuh yang diundang itu, hanya empat perusahaan yang memenuhi panggilan. Sisanya minta skedul ulang.
“Pekan depan (ini) akan dipanggil 10 (produsen) lagi,” tutur sumber ini.
Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, sampai sekarang KPPU belum menemukan bukti hukum yang kuat untuk membawa dugaan kartel itu ke pengadilan. Namun, secara ekonomi, indikasinya sudah sangat jelas. Salah satunya terlihat dari struktur pasar minyak goreng yang cenderung oligopolistik atau hanya dikuasai oleh segelintir pebisnis. Sekitar 46,5 persen pangsa pasar minyak goreng didominasi oleh empat perusahaan.
Ukay memang tidak menyebutkan nama keempat perusahaan tersebut. Tetapi dia mengatakan ciri-cirinya. Salah satunya, perusahaan-perusahaan ini memiliki struktur bisnis yang terintegrasi secara vertikal dari hulu ke hilir. “Di hulunya mereka punya perkebunan sawit. Di hilirnya punya pabrik minyak goreng,” jelas Ukay kepada reporter detikX pekan lalu.
Produksi minyak goreng sangat bergantung pada produksi minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO). Sekitar 77,7 persen bahan baku minyak goreng berasal dari hasil olahan kelapa sawit ini.
Ciri yang disampaikan mirip dengan temuan detikX dalam data volume penjualan minyak goreng Kementerian Perdagangan per Januari-Oktober 2021. Dalam data ini, sekitar 80,1 persen penjualan minyak goreng didominasi empat perusahaan besar: Grup Wilmar (29,3 persen), Grup Musim Mas (27,6 persen), Grup Indofood (18 persen), dan Grup Sinar Mas (9,8 persen). Keempatnya sama-sama memiliki perkebunan sawit dan pabrik minyak goreng sendiri.
Kebun sawit yang mereka miliki diduga menjadi pemasok sebagian besar bahan baku CPO bagi produsen minyak goreng di grup masing-masing. Grup Indofood misalnya. Perusahaan ini memiliki kebun sawit seluas 300 ribu hektare. Salah satu entitas usahanya, yakni PT London Sumatera Indonesia Tbk (LSIP), memasok sekitar 77,18 persen produksi CPO-nya ke anak usaha Indofood lainnya, yakni PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Salim Ivomas merupakan produsen minyak goreng bermerek Bimoli, Delima, dan Happy.
Pola yang sama diduga berlaku pada tiga konglomerasi minyak goreng lainnya. Perputaran uang di perusahaan-perusahaan ini hanya berkutat dari satu anak perusahaan ke anak perusahaan lainnya. Ibaratnya, keluar kantong kanan, masuk kantong kiri.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori mengatakan, dengan struktur bisnis seperti ini, empat perusahaan itu sebetulnya bisa membuat harga minyak goreng di pasar lebih kompetitif. Setidaknya lebih stabil dibandingkan dengan kenaikan harga bahan bakunya, yakni CPO, yang melonjak 25,72 persen dari USD 985 per ton pada Januari 2021 menjadi USD 1.238 ton per ton pada Desember 2021. Sebab, kata Khudori, mereka membeli bahan baku dari grup sendiri.
Sayangnya, hal itu tidak dilakukan perusahaan sehingga membuat harga minyak goreng sempat melambung tinggi. Bahkan sempat menyentuh Rp 20 ribu per kilogram pada Desember tahun lalu. Alih-alih menjadikan kenaikan harga CPO sebagai ajang bersaing merebut pasar satu sama lain, perusahaan malah memanfaatkan kenaikan harga CPO untuk meraup keuntungan berlipat.
“Jadi mereka seakan nggak mau kehilangan momentum untuk mendapatkan cuan itu,” ungkap Khudori kepada reporter detikX pekan lalu.
Dugaan upaya memanfaatkan momentum kenaikan harga CPO itu pun terlihat dari hasil kinerja keuangan beberapa perusahaan minyak goreng tersebut. Indikasinya terlihat dari penurunan signifikan pada persentase beban pokok (HPP) perseroan terhadap penjualan kotornya pada kuartal III tahun lalu. HPP adalah dana yang digelontorkan perusahaan untuk ongkos produksi. Sementara penjualan kotor adalah hasil penjualan keseluruhan terhadap semua produk yang dijual perseroan. Asumsinya, jika persentase beban pokok terhadap penjualan semakin kecil, keuntungan akan semakin besar.
Dengan penurunan persentase terhadap beban pokok ini, tiga entitas produsen minyak goreng dari empat konglomerasi besar ini pun berhasil membukukan kenaikan laba bersih yang signifikan pada kuartal III tahun lalu. PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) misalnya. Pada kuartal III/2021, persentase beban pokok terhadap penjualan perseroan turun menjadi 75,59 persen dari 83,49 persen pada kuartal III/2020.
Penurunan persentase beban pokok dengan penjualan ini berkontribusi terhadap kinerja keuangan perseroan sehingga bisa meraup untung Rp 105,9 miliar pada kuartal III/2021. Berbanding terbalik dengan kinerja keuangan perseroan pada kuartal III/2020, yang masih mencetak rugi Rp 51,86 miliar. Keuntungan ini juga dirasakan oleh induk utama perusahaan, yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), yang juga meraih keuntungan Rp 1,73 triliun atau naik 23,15 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
detikX telah menghubungi External Communication Manager Indofood Sukses Makmur Lucy Nurtriani untuk mengkonfirmasi data tersebut. Namun Lucy meminta detikX langsung menghubungi Sekretaris Perusahaan Salim Ivomas Pratama, Yati Salim. detikX lantas menghubungi Yati melalui alamat surel. Tapi, sampai naskah ini diterbitkan, Yati belum juga memberikan jawaban.
Tren kinerja keuangan serupa juga terjadi pada anak usaha Grup Sinar Mas, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR). Perusahaan ini memproduksi minyak goreng bermerek Filma, Kunci Mas, Mitra, dan Palmvita.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan pada kuartal III/2021, terjadi penurunan persentase beban pokok berbanding penjualan sebesar 6,46 persen. Dari 86,98 persen pada kuartal III/2020 menjadi hanya 80,52 persen pada kuartal III/2021. Dengan penurunan persentase beban pokok terhadap penjualan itu, SMAR pun berhasil menggamit loncatan laba bersih lebih dari enam kali lipat menjadi Rp 1,8 triliun dari sebelumnya hanya Rp 273,78 miliar pada kuartal III/2020.
detikX berupaya mengkonfirmasi hasil laporan keuangan ini kepada Corporate Communication PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk Beni Wijaya. Beni sempat membalas pesan detikX dan berjanji akan memberikan jawabannya setelah berkoordinasi dengan pihak internal. Namun, sehari kemudian, Beni mengatakan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology belum siap memberikan jawabannya.
“Saya sudah berkoordinasi internal. Saat ini, mohon maaf, kami belum bisa memberikan tanggapan dulu ya. Mohon maaf sebelumnya,” tulis Beni kepada reporter detikX melalui pesan singkat, Jumat, 13 Februari 2022.
Hasil laporan keuangan serupa tidak terlihat pada anak usaha Grup Wilmar, PT Wilmar Cahaya Indonesia Tbk (CEKA). Perusahaan ini memproduksi minyak goreng berjenama Sania, SIIP, dan Fortune. Persentase beban pokok dan penjualan CEKA konsisten pada angka 89-93 persen dalam empat tahun terakhir. Tetapi perusahaan juga turut merasakan peningkatan laba bersih sebesar 15,56 persen jika dibandingkan kuartal III tahun sebelumnya, dari Rp 218,81 miliar menjadi Rp 252,86 miliar.
Keuntungan CEKA terdongkrak lantaran perseroan banyak menjual produk CPO-nya ke sesama anak perusahaan Wilmar lainnya, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Sari Agrotama Persada. Kedua perusahaan ini merupakan entitas usaha Wilmar yang juga memproduksi minyak goreng bermerek Sovia, Mahkota, dan Goldie.
Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor, mengakui perusahaannya memang membeli bahan baku CPO ke Wilmar Cahaya. Namun, kata Parulian, mereka membelinya sesuai dengan harga yang ditentukan pasar lelang PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN). KPBN merupakan perusahaan milik pemerintah yang menentukan harga lelang sejumlah komoditas, termasuk CPO.
Parulian mengatakan perusahaannya tidak berani membeli CPO dengan harga lebih murah meski beli dari anak usaha Wilmar lainnya. Perusahaan, kata dia, takut terkena masalah pajak jika melakukan hal tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Harga Transfer, perusahaan yang terafiliasi memang diwajibkan melakukan pembelian barang sesuai dengan harga wajar yang ditentukan pihak independen. Khusus CPO, harganya merujuk pada harga lelang yang ditentukan oleh KPBN.
Sebagian bahan baku lainnya diambil dari sejumlah perusahaan yang tidak terafiliasi dengan Wilmar. Sebab, menurut Parulian, kebutuhan bahan baku CPO untuk produksi minyak goreng Wilmar tidak cukup jika hanya dipenuhi dari sesama anak usaha sendiri. Selain itu, menurutnya, Wilmar lebih memprioritaskan ekspor CPO mengingat potensi keuntungan yang lebih besar daripada penjualan komoditas ini di luar negeri.
“Kami kan pedagang. Ya kalau sekarang pasaran dunia katakanlah Rp 15 ribu (per kilogram), katakan biaya saya Rp 11 ribu, lalu ada yang beli Rp 15 ribu, ya jual dong,” beber Parulian melalui telepon pekan lalu.
Dari keempat konglomerasi besar ini, hanya Grup Musim Mas yang tidak dapat kami telusuri laporan keuangannya. Semua anak usaha di grup ini berstatus sebagai perusahaan tertutup. detikX telah berupaya menghubungi manajemen Musim Mas melalui surel resmi perusahaan untuk meminta skedul wawancara.
Surel detikX sempat dibalas Corporate Communications PT Musim Mas, Renny, pada Jumat, 11 Februari 2022. Renny bertanya kapan tenggat penulisan artikel ini. Kami membalas surel itu dengan memberi tahu jadwal tayang artikel ini pada Selasa, 15 Februari 2022. Namun, sampai artikel ini diterbitkan, Renny belum memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang detikX kirimkan.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto, Syailendra Hafiz Wiratama
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Luthfy Syahban
Sumber: https://news.detik.com/x/detail/investigasi/20220215/Mengendus-Kartel-Minyak-Goreng/