Oleh: Iwan Nurdin
Kontroversi RUU Cipta Kerja belum berkesudahan. Termasuk soal tanah. Wajar, ada banyak hal terkait dengan pertanahan dan kemudian merembet juga ke pertanian, perkebunan, perumahan, kawasan industri dan hal investasi lainnya yang kesemuanya membutuhkan tanah. Jika tidak dikritisi dan dicegah sisi buruknya dapat membawa persoalan mendasar di bidang pertanahan kita yang secara nasional statusnya buruk akan semakin rumit untuk diselesaikan.
Pemikiran utama yang mengatur pertanahan pada RUU Cipta Kerja yakni: pertama, strategi pembangunan di atas sumber-sumber agraria khususnya tanah berlandaskan pada kepercayaan bahwa investor besar asing maupun dalam negeri adalah juru selamat ekonomi dari pertumbuhan ekonomi yang rendah. Kedua, pandangan ini menjadi latar belakang dalam perumusan masalah bahwa kemelut pembangunan selama ini karena para pengusaha hanya memiliki sedikit keistimewaan bahkan kerap dipersulit dalam memperoleh tanah. Ketiga, dalam menjawab hal tersebut, RUU ini kemudian mengatur bahwa pengusaha mestilah diberi kemudahan sejak dati proses pengadaan pertanahan hingga proses pembangunan di atasnya, segala hambatan dari masyarakat dan birokasi mesti dipangkas.
Berlandaskan ketiga hal tersebut, pemerintah akan membentuk Bank Tanah sebagai sebuah institusi pengadaan tanah sekaligus penyedia tanah untuk investasi. Karena itu, tidak mengherankan jika di dalam aturan Bank Tanah, pemerintah menyertakan pemberian kewenangan publik kepada institusi ini seperti melakukan penyusunan rencana zonasi; melakukan pengadaan tanah; dan menentukan tarif pelayanan (Pasal 127 angka 4). Regulator sekaligus aktor itulah hakekat Bank Tanah yang hendak dibuat oleh RUU ini.
Menurut keterangan pemerintah, Bank Tanah kelak akan bekerja melalui mekanisme Penetapan Lokasi. Istilah Penetapan Lokasi menandakan bahwa Bank Tanah dianggap “mewakili” kepentingan umum. Kemudian, lokasi yang telah ditetapkan tersebut akan dibekukan (freez) dari segala macam transfer kepemilikan kecuali kepada Bank Tanah. Setelah tanah dikuasai, maka Bank Tanah bisa melakukan tawaran kerjasama kepada pihak investor, atau dipakai oleh pihak lain dalam rangka proyek-proyek kepentingan umum yang membutuhkan tanah. Sumber keuangan Bank Tanah sendiri juga terbuka dari investor asing. Dalam RUU ini, Bank Tanah akan diberikan Hak Pengelolaan (HPL) yang secara praktik adalah campuran domein verklaring dan pemegang tanah partikelir ala zaman kolonial. Padahal domein verklaring dan tanah partikelir adalah aturan pertama sekali yang dihapus ketika kita merdeka.
Selanjutnya, pengaturan pertanahan di atas HPL milik BT tersebut dapat diberikan pemberian Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) dengan jangka waktu selama 90 tahun yang diberikan sekaligus (Pasal 127). Bandingkan dengan hak sejenis di masa kolonial yakni hak erfpacht yang “hanya” 75 tahun. Sekedar mengingatkan, bahwa Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan jangka waktu sekaligus semacam ini pada UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, sebab bertentangan dengan prinsip penguasaan negara atas tanah.
Anehnya, meski memberikan jangka waktu hak atas tanah nyaris mencapai tiga generasi, ketentuan tentang kewajiban pembangunan kebun secara aktif oleh perusahaan dan larangan penelantaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Perkebunan dengan ancaman diambil alih negara justru dihapus oleh RUU ini. Penghilangan pasal ini telah melikuidasi peran negara dalam mengawasi pemberian hak atas tanah kepada perusahaan untuk diusahakan secara maksimal.
Selain itu, perusahaan perkebunan asing yang akan masuk ke dalam negeri, dalam RUU Cipta Kerja ini tidak memiliki kewajiban untuk bekerjasama dengan para pemodal dalam negeri.
Beleid sapu jagat ini telah mengubah isi beberapa pasal 39 pada Undang-Undang Nomor 39/2014 tentang Perkebunan. Pasal 39 yang mengatur tentang penanaman modal asing akan dihapus.
Isi pasal tersebut kemudian diubah sebagaimana diatur dalam Pasal 30 RUU Cipta Kerja menjadi berbunyi, “Pelaku usaha perkebunan dapat melakukan usaha perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”.
Strategi Industri
Para perancang RUU secara sadar telah memberikan karpet merah untuk modal asing menguasai tanah selama 90 tahun bahkan lebih lama dari aturan masa kolonial.
Hal semacam ini tentu membahayakan. Sebab, tanah perkebunan atau pertanian yang masuk tersebut, dapat dikuasai asing dan bisa saja untuk melayani kebutuhan pangan dan bahan baku industri bagi negara asalnya. Misalnya, bisa saja negara seperti China atau Timur Tengah dapat membangun sawah maha luas di negara kita, namun perusahaan tersebut sepenuhnya melayani kebutuhan beras di negaranya untuk jangka waktu 90 tahun ke depan.
Disinilah landasan penanaman modal menjadi kabur. Bukankah yang kerap diwacanakan bahwa tujuan mengundang investasi adalah untuk memperkuat kemampuan modal pembangunan, mengakselerasi pembangunan, menciptakan lapangan kerja dan transfer teknologi. Jenis investasi agraria semacam ini tentu tidak akan mencapai tujuan tersebut. Bahkan, jika mengingat kemampuan nasional kita sendiri, industri dengan penguasaan tanah semacam ini seharusnya sudah tertutup bagi asing dan pengusaha besar nasional.
Industri agraria kita seperti perkebunan dan pertanian seharusnya telah diprioritaskan untuk dimiliki dan ditumbuhkan oleh Badan Usaha Milik Petani atau Badan Usaha Milik Desa dalam wujud koperasi produksi. Sebab kemampuan rakyat dan kesedian SDM akan hal tersebut lebih dari cukup.
RUU Cipta Kerja semacam ini dapat mengulang kesalahan lama, menjadikan modal dan pemerintah bekerjasama tanpa kontrol publik akibat dilegalkan oleh hukum dalam mengatur sumber- sumber agraria tanpa ada rencana pembangunan nasional di dalamnya. Alih-alih menciptakan kerja justru menimbulkan ketimpangan sosial karena perampasan tanah rakyat meluas.
Karena itu, perilaku gelap mata mengundang investasi oleh perancang RUU ini sebaiknya dipahami benar oleh DPR dan masyarakat luas, harapannya aturan yang demikian ini tidak disyahkan.
Iwan Nurdin
Ketua Dewan Nasional KPA
Board Direktur Lokataru Foundation
FIAN Indonesia
Sumber artikel: http://lokataru.id/iwan-nurdin-omnibus-law-dan-hukum-agraria-kolonial/