Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 25 November 2021, UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) atau Omnibus Law dinyatakan cacat formil dan inkonstitusional secara bersyarat. Artinya UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan, juga mengabaikan asas kejelasan rumusan dan tujuan, serta asas keterbukaan, sehingga dapat inkonstitusional (tidak mengikat) bila tidak diperbaiki dalam dua tahun sejak putusan diucapkanĀ (bersyarat).
Pertimbangan putusan ini terdiri utamanya dari tiga hal. Pertama, dari proses pembentukannya dengan metode penggabungan atau omnibus, tidak jelas yang disasar adalah pembuatan UU baru atau revisi, karena kenyataannya kedua hal ini dilakukan dalam UU Cipta Kerja. Kedua, proses pembentukannya juga tidak memegang asas keterbukaan terhadap publik. Pertemuan dan dialog pada beberapa pihak memang dilakukan, tetapi pembahasan tidak mencapai tahap substansi UU. Banyak dari jaringan masyarakat sipil juga tidak dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Dibutuhkan partisipasi masyarakat yang lebih bermakna, terutama mereka yang akan mengalami dampak langsung atau memiliki perhatian terhadap undang-undang yang dibahas, yang memenuhi tiga prasyarat: hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Ketiga, draf UU Cipta Kerja tidak mudah diakses oleh publik dan sempat memiliki banyak versi yang menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Naskah akademis dan draft RUU Cipta Kerja waktu itu juga tidak mudah diakses.
Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan perbaikan terhadap hal-hal yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi dalam dua tahun jangka waktu dan akan dinyatakan inkonstitusional bersyarat secara permanen apabila tak ada perbaikan.
Putusan soal UU Cipta Kerja menjadi secercah harapan terhadap masyarakat sipil yang berjuang untuk menentang dan mengurgensikan pembatalannya sejak pengesahannya sejak tahun 2019, tahun di mana Presiden Joko Widodo membahas ide tentang undang-undang sapu jagat ini. Meskipun terdapat poin-poin yang harus dikritisi karena putusan MK tidak lantas bisa menangguhkan UU CK dan membuat pasal-pasal yang merugikan masyarakat dan melanggar HAM tidak berlaku. Putusan MK ini setidaknya memberikan hal yang baik selama dua tahun kedepan, karena:
- Menangguhkan segala tindakan atau kebijakan strategis dan berdampak luas
- Pemerintah tidak diperkenankan untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang terkait dengan UU Cipta Kerja
Namun, keputusan inkonstitusional bersyarat tidak mencabut UU Cipta Kerja sehingga UU ini, beserta peraturan pemerintah yang telah diterbitkan, masih berlaku selama periode perbaikan. Padahal, bukan hanya UU Cipta Kerja sendiri mengandung pasal-pasal yang mengancam penghidupan masyarakat banyak, termasuk hak atas pangan bagi produsen pangan skala kecil dan konsumen rentan, tetapi sudah ada beberapa peraturan turunan seperti Peraturan Pemerintah, bahkan peraturan pelaksana yang dikeluarkan kementerian, yang memberi lampu merah untuk pembangunan yang destruktif bagi hak atas pangan banyak orang. Seperti misalnya terkait Food Estate dan proyek strategis nasional lain yang menggilas hutan, lahan pangan, dan pesisir, juga liberalisasi pangan dari longgarnya impor dan investasi (lihat PP No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum, PP No. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, PP No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, PP No. 42 Tahun 2021 tentang Proyek Strategis Nasional).
Merespon ini, FIAN Indonesia akan terus memantau bersama jejaring masyarakat sipil lainnya agar pemerintah tidak mengeluarkan peraturan pelaksana baru dan kebijakan strategis berdampak luas yang dapat merugikan keselamatan rakyat Indonesia, mengganggu kelestarian lingkungan, dan melanggar hak atas pangan dan gizi. Pemantauan segala bentuk perbaikan aturan juga turut diperhatikan agar dapat berpihak pada kepentingan rakyat.