Sampai pada saat ini, pangan sebagai hak belum menjadi arus utama dalam diskursus publik. Persoalan pangan, lebih sering dipandang dalam bingkai politik pangan atau kebijakan ekonomi yang menempatkan pangan hanya sebagai komoditas pasar semata. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, dua proyek besar—Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Food Estate—menjadi potret paling terang dari bagaimana Negara menjauh dari prinsip hak atas pangan dan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupannya. Melalui proyek MBG, Prabowo tampak memposisikan pangan sebagai komoditas populis dan kendaraan politik. Sebab meski sudah tercatat lebih dari 10.000 kasus keracunan akibat proyek ini, Prabowo bersama dengan kroninya belum melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi proyek yang menghadapi kegagalan struktural dan normatif sangat serius. FIAN Indonesia menilai, proyek ini gagal menjamin ketersediaan pangan bermutu, kelayakan nutrisi, aksesibilitas fisik dan ekonomi, serta keberlanjutan hukum dan anggaran—yang akhirnya berujung pada kasus keracunan massal dan trauma pada anak-anak. Oleh karena itu, alih-alih menjadi tonggak pemenuhan hak atas pangan dan gizi, MBG dalam bentuknya yang sekarang lebih cenderung menjadi politis dan moral yang harus dihentikan dan dievaluasi total.
Proyek Food Estate bahkan menambah lapisan persoalan baru. Sebab dengan dalih efisiensi dan produktivitas, Negara justru melanggengkan praktik perampasan tanah, pemusnahan benih lokal, dan penyingkiran masyarakat adat dari ruang hidupnya. Pemantauan yang dilakukan oleh FIAN Indonesia di Kalimantan Tengah menunjukkan tiga bentuk pengingkaran Negara terhadap hak atas pangan dan gizi. Pengingkaran pertama, Negara gagal menghormati hak atas pangan dan gizi, salah satunya melalui pembatasan cara produksi tradisional dan pemaksaan benih. Pengingkaran kedua, Negara gagal melindungi hak atas pangan dan gizi, dengan maraknya alih fungsi lahan untuk proyek Food Estate (yang dipeparah juga dengan korporasi sawit dan tambang). Hingga pengingkaran ketiga, Negara gagal memenuhi hak atas pangan dan gizi, karena ketiadaan dukungan pengetahuan dan kapasitas bagi para peladang tradisional.
Oleh karena itu, perwujudan hak atas pangan dan gizi sepanjang kepemimpinan Prabowo Subianto yang bahkan belum satu tahun ini semakin ironis. Sebab seluruh proyek pangan dibawah komandonya—berjalan dengan bayang-bayang militerisasi tanpa upaya optimalisasi Undang-undang Perlindungan Pemberdayaan Nelayan dan Undang-undang Perlindungan Pemberdayaan Petani. Keterlibatan TNI dan POLRI dalam pengelolaan pangan tersebut, mempertegas arah otoritarianisme baru. Padahal, ketika militer dan korporasi menjadi pemain utama, bukan Petani dan Nelayan–maka yang tersisa hanyalah lanskap ketimpangan baru, di mana rakyat kembali menjadi penonton atas hilangnya hak mereka atas tanah, benih, dan masa depan yang layak.

Penulis: Hana Saragih