Latar Belakang
Ada sebuah cerita rakyat dari daerah Endikat (Lahat) di Palembang, Sumatera Selatan, berjudul “Ting Gegenting”. Dalam cerita tersebut, dikisahkan seorang anak yatim yang harus menunggu ibunya merampungkan kerja bertaninya, dari mulai menebas ladang, membakar ladang, menanam padi, memanennya, mengiriknya, menampinya, menjemur gabah hasil pengupasannya, hingga akhirnya siap ditanak dan disajikan dalam piring. Namun naas, si anak yang sejak awal telah merintih, “Ting Gegenting, perutku sudah genting, kelaparan, mau makan …”, telah begitu lemah hingga mati kelaparan.
Cerita rakyat tersebut kini bisa kita maknai melebihi pesan moral yang biasa disampaikan ke anak-anak, yakni untuk tidak membuang-buang makanan. Ting Gegenting dapat kita tafsirkan sebagai cerita yang menggambarkan kondisi absennya ketersediaan pangan dalam rumah tangga, yang lantas memerangkap segelintir anggota keluarga—dalam hal ini sang anak—dalam kelaparan. Sebuah kondisi pelanggaran hak asasi manusia, terutama hak atas pangan dan gizi, yang tampaknya tak asing kita temukan dalam keseharian di Indonesia, bahkan di dunia. Bedanya, pada Ting Gegenting, belum ada kehadiran sebuah negara, yang wajib melindungi hak atas pangan dan gizi seluruh rakyatnya.
Laporan State of Food Security and Nutrition (SOFI) tahun 2020 menunjukkan angka kelaparan terus meningkat, dengan jumlah 10 juta dari tahun 2019-2020 ini dan naik 60 juta sejak 2014. Pada tahun 2019, menurut Global Hunger Index, Indonesia sendiri menempati peringkat 70 dari 117 negara dan masuk dalam kategori “serius”. Pengkategorian ini setidaknya didasarkan pada empat indikator: suplai pangan yang tak layak, kekurangan gizi pada bayi (wasting dan stunting), dan kematian bayi (GHI, 2020). Angka ini termasuk tinggi dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara (Kompas, 2019).
Kondisi yang ditimbulkan akibat pandemi COVID-19 turut memperburuk suasana. Terganggunya rantai pasokan makanan, lumpuhnya ekonomi, dan daya beli konsumen yang semakin melemah, berpotensi menimbulkan kelaparan dan kematian yang melebihi kematian akibat infeksi Covid-19 itu sendiri (Bloomberg, 2020). Sebanyak 132 juta orang diproyeksikan akan kelaparan selama 2020 (FAO, 2020). Dengan estimasi seperti ini, idealnya Indonesia akan membenahi sistem pangan domestik dan mengerahkan segala upaya untuk menciptakan ketersediaan dan keamanan pangan yang bisa diakses seluruh pihak, termasuk masyarakat kecil dan marginal. Realitasnya, Indonesia malah menumpuk aneka tindakan dan kebijakan yang akan menimbulkan pelanggaran hak atas pangan dan gizi. Adanya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang memiliki banyak pasal bermasalah—termasuk dalam bidang pangan, mulai dirintisnya pembangunan food estate di lahan gambut Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau di Kalimantan Tengah, serta rentetan konflik agraria dan tanah adat yang kerap terjadi dalam keadaan pandemi sekalipun, adalah usaha-usaha untuk semakin menjerumuskan Indonesia dalam ancaman kelaparan dan malnutrisi. Ketiga tindakan ini dengan apik saling bahu-membahu untuk semakin mempermudah pencaplokan tanah dan sumber daya, penglolosan proyek raksasa termasuk food estate bersistem contract farming nan industrial, dan semakin memasukkan Indonesia ke dalam agenda liberalisasi pangan. Namun, pemerintah dan pengusaha masih bertahan dengan dalil mengusahakan ketahanan pangan, tetapi pangan untuk siapa yang tengah dibicarakan di sini?
Menyitir ucapan Presiden Jokowi, “Bukan hanya untuk pasar domestik, tetapi juga untuk pasar internasional”, nampaknya sudah jelas target konsumen untuk kebijakan dan tindakan “ketahanan pangan” yang sedang dirintis Indonesia. Jelas juga, bahwa negara memprioritaskan ketersediaan pangan bagi mereka yang bekerja dalam sektor jasa dan industri di wilayah perkotaan, dan lantas mengabaikan kebutuhan masyarakat lokal yang hidup di periferi lahan-lahan produksi di desa. Pasalnya, dibandingkan masyarakat perkotaan, penghidupan masyarakat desa lebih bergantung pada “… sumber daya yang tersedia bebas seperti hasil hutan dan laut, atau tumbuhan yang dikumpulkan dari area milik umum” (Sandwell dkk., 2019). Hak atas pangan dan gizi mereka juga bergantung pada akses ke tanah.
Berlandaskan permasalahan ini, FIAN Indonesia ingin mengajak kawan-kawan semua untuk mengungkap selubung slogan “ketahanan pangan” yang selama ini digunakan untuk melegitimasi tindakan-tindakan dan kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tengah merentankan sistem pangan kita serta hak atas pangan dan gizi mereka yang termarginalisasi; mulai dari perempuan, masyarakat adat, bahkan kaum miskin kota. Inisiatif “jurnal populer” ini ingin mengumpulkan tulisan-tulisan argumentatif yang berangkat dari pertanyaan sederhana “Pangan untuk Siapa?” untuk menguliti siapakah target pasar yang sebenarnya dan siapa yang dikesampingkan dari sistem pangan di Indonesia.
Kerangka Acuan Penulisan
- Melihat pangan sebagai objek politik, “… with questions of how food systems are constituted, how they change (or do not change), and who gains or loses implicating power relations of many kinds, between diverse actors.” (Leach dkk, 2020)
- Di bagian pertama, jurnal populer ini akan berisi tulisan-tulisan yang memakai analisis dengan pendekatan yang mirip food regimes[1] tetapi lebih menitikberatkan pada bagaimana keterhubungan produksi dan konsumsi pangan internasional turut dibaca, dan melihat bahwa kepentingan global yang ditentukan rezim pangan ini dapat berimplikasi pada konsumen, produsen, dan pekerja pangan di seluruh dunia (Friedmann dan McMichael, 1989; Friedmann, 2005) dalam lingkup lokal. Dalam hal ini, rilis Indonesia Global Justice yang menganalisis perjanjian WTO dengan perubahan UU Pangan dalam RUU Cipta Kerja dapat menjadi referensi yang baik. Dalam bagian ini, akan dikupas siapa yang diuntungkan dari sistem pangan yang tengah berlaku di Indonesia.
- Bagian kedua akan lebih melihat dampak-dampak dari adanya eksklusi serta marginalisasi yang mengikutsertakan perspektif gender. Menurut Li (2020: 6) eksklusi adalah proses pencegahan akses atas tanah yang dapat terjadi melalui empat kuasa: pengaturan, pasar, pemaksaan, dan legitimasi. Dengan melihat kuasa eksklusi dari pemikiran Li, tulisan-tulisan di sini akan melihat eksklusi dari tanah dan sumber daya di atasnya—termasuk eksklusi masyarakat lokal dari proyek Food Estate dan proyek pembangunan lain—tetapi tidak terbatas pada tanah saja, tetapi juga dalam bagian lain dari sistem, infrastruktur, dan kebijakan pangan yang kompleks. Tulisan-tulisan dalam bagian ini ingin mengupas lebih jauh bagaimana ada kelompok-kelompok lebih kecil yang dieksklusikan dan selanjutnya dipinggirkan lebih jauh dari sistem pangan dan pertanian yang bergeser ke arah yang industrial dan neoliberal, satu di antaranya adalah perempuan. Menurut de Schutter (2012) hal ini paling visibel dari praktik pertanian kontrak yang cenderung mengontrak buruh laki-laki karena dianggap sebagai pemilik tanah yang formal. Dampaknya pada perempuan kemudian bisa bervariasi dari kesempatan kerja yang tidak setara dan kontrol lelaki yang semakin besar dalam rumah tangga (karena mereka yang menerima pembayaran dan bisa mengendalikannya).
- Kesemua tulisan akan dibingkai dengan Hak atas Pangan dan Gizi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Artinya, semua tulisan perlu berelasi dengan pelanggaran/potensi pelanggaran HAPG dan menekankan urgensi menciptakan sistem pangan yang dapat memberikan jaminan bahwa seluruh rakyat Indonesia, termasuk setiap laki-laki, perempuan, dan anak-anak, untuk tidak mengalami kelaparan dan malnutrisi, baik secara implisit maupun Muatan normatif tentang mewujudkan hak atas pangan dan gizi ini dapat dilihat dari General Comment No. 12 tentang hak atas kelayakan pangan dalam laporan FIAN Indonesia (2018) yang mencakup kecukupan, ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan (FIAN Indonesia, 2018). Perlu diperhatikan bahwa hak atas pangan dan gizi sebenarnya menghendaki kondisi ideal di mana kedaulatan pangan dapat dicukupkan dalam lingkup yang selokal dan sedekat mungkin.
Tema dan Rencana Tulisan (Beserta Penulis)
- Pendahuluan
— Penulis: Laksmi A. Savitri / Iwan Nurdin (FIAN Indonesia)
- Glosarium Pemahaman (Infografis & Gambar)
- Hak Atas Pangan dan Gizi.
Pada bagian ini, akan dipaparkan konsep-konsep soal: “ketahanan pangan”, “kedaulatan pangan”, “keamanan pangan”, “kemandirian pangan”, serta “hak atas pangan dan gizi” dalam bentuk gambar dan pemaparan singkat.
—– Penulis: Shabia (FIAN Indonesia)
- Bagian 1: Liberalisasi Pangan & Pertanian
- Agenda Liberalisasi Pangan dalam Omnibus Law
Pada bagaian ini, diharapkan dapat dijelaskan posisi Indonesia dalam Sistem Pangan Global, dan bagaimana kerjasama internasional telah membuat Indonesia membuat kebijakan-kebijakan dalam negeri yang mengarah ke impor, pertanian monokultur berorientasi ekspor, hingga pembangunan food estate.
—– Penulis: Indonesia for Global Justice
- Hancurnya Lumbung Kami: Kegagalan Food Estate dari Masa ke Masa, dan Potensi Kelaparan Masyarakat yang Tergusur
Food Estate sedang dibangun di Kalimantan Tengah—sementara Food Estate lainnya menyusul (di Papua, Sumatera, Sulawesi). Bagaimana food estate yang lalu menuai kegagalan dan menyebabkan masyarakat di sekitar lahan food estate itu kelaparan?
—– Penulis: Adi M. Bachri
- Kerentanan Pangan di Perkotaan: Ancaman Gizi Buruk, Pola Makan Tak Sehat, dan Corporate Capture dalam bidang pangan
Isu pelanggaran hak atas pangan dan gizi yang layak seringkali menyoroti daerah perdesaan. Banyak yang luput bahwa kota juga menjadi objek subur kerentanan pangan, di mana segelintir masyarakat, terutama mereka yang termasuk dalam kelompok menengah ke bawah dan bekerja sebagai buruh, mengonsumsi produk makanan pasar yang seringkali tak sehat. Pada bagian ini, diharapkan kerentanan pangan masyarakat perkotaan dapat diulas.
— Penulis: Open Call
- Glosarium Pemahaman (Infografis & Gambar)
Yang Bertanggungjawab Atas Pangan Indonesia
Pada bagian ini, akan digambarkan siapa yang harusnya bertanggungjawab pada pangan di Indonesia: mulai dari Kementan, DKP, BULOG, dst.
—– Penulis: Shabia
- Bagian 2: Studi Kasus
- Kisah-kisah Kemiskinan dan Kelaparan: Dampak PembangunanPerkebunan Skala Besar, Urbanisme & Transmigrasi, Upah Buruh yang Murah
Ada anggapan populer bahwa pembangunan perkebunan dalam bidang pangan, seperti kelapa sawit dan gula, akan membawa kesejahteraan. Tetapi di beberapa daerah di Indonesia—Papua, Kalimantan, dan Sumatera, misalnya, ada kasus-kasus penggusuran lahan petani kecil dan jeratan kemiskinan. Pada bagian ini, diharapkan dijelaskan satu studi kasus penggusuran petani lokal karena alihfungsi lahan.
—– Penulis: Agrarian Resources Center
- Masyarakat Pedesaan dan Pelanggaran Hak Atas Pangan
Masih berkaitan dengan poin empat, pada bagian ini diharapkan diulas soal studi kasus masyarakat pedesaan yang mengalami kesulitan mengakses pangan lokal ketika tanah mereka direbut oleh proyek-proyek pembangunan tertentu. Pedesaan di sini bisa mengacu pada desa dengan karakteristik agraris maupun pertanian.
—- Penulis: Open Call
- Homogenisasi Pangan di Perdesaan: Dari Pertanian Monokultur sampai Program Pemerintah dalam Bidang Pangan (misal: Berasisasi)
Ada begitu banyak kasus-kasus perubahan pola konsumsi masyarakat lokal karena perubahan cara bertani, dan penetrasi komoditas pasar yang semakin masif. Kasus paling sering adalah perubahan makan sagu ke beras, di Mentawai, Papua, dan Nusa Tenggara. Pada bagian ini, diharapkan ada ulasan tentang studi kasus ini.
—– Penulis: Open Call
- Mengapa Petani Membuang-buang Panen?: Permasalahan Logistik dan Distribusi
Fenomena membuang-buang atau membiarkan hasil panen teronggok begitu saja sering terlihat, apalagi ketika pandemi Covid-19 kemarin yang berbarengan dengan panen raya. Permasalahan logistik dan pendataan termasuk hal yang mencetuskan hal tersebut. Pada bagian ini, diharapkan diulas pengaruh logistik dan pendataan yang buruk dengan petani yang terus merugi dlm periode panen raya.
—– Penulis: M. Raffy Sudjana (Sekolah Tani Muda)
Kaidah Penulisan
- Tulisan dapat berbentuk artikel dan esai berbahasa Indonesia.
- Sertakan judul dan “abstrak” singkat berisi 2-3 kalimat terkait isi tulisan.
- Tulisan yang disubmit merupakan karya orisinil dan belum pernah diterbitkan sebelumnya di media lain.
- Tulisan ditulis dengan minimal 1200 kata, maksimal 2500 kata.
- Tulisan dibuat dengan alur yang runut dan terfokus, dilandasi dengan argumen dan data yang bisa dipertanggungjawabkan.
- Pastikan bahwa tulisan turut memasukkan dan membahas konteks hak atas pangan dan gizi, atau mengarah pada urgensi hak atas pangan dan gizi. Kajian tentang pangan yang tidak menyoal HAPG sama sekali (misal tentang ulasan jenis-jenis ragam pangan tradisional atau fenomena obesitas di perkotaan yang tidak dihubungkan dengan, misalnya, “pangan tradisional membuat masyarakat bisa bertahan dalam situasi krisis/kelangkaan pangan nasional”, atau “obesitas adalah hasil dari tereksklusinya suatu masyarakat dari ritel pangan sehat berkalori rendah yang harganya terjangkau”), bukanlah tulisan yang kami harapkan.
- Tulisan diharapkan mampu dipahami berbagai kalangan, termasuk bagi yang belum familier dengan wacana politik pangan.
- Tulisan tidak mengandung elemen plagiarisme, tidak melanggar hak cipta, dan tidak bersifat diskriminatif atau ofensif terhadap kelompok-kelompok tertentu. Perhatikan selalu paraphrase. Apabila pernah dipublikasikan di tempat lain dan mengalami perubahan-perubahan tertentu, mohon diberikan keterangan.
- Perhatikan sumber referensi. Sitasi dan referensi menggunakan American Psychological Association (APA) Style.
- Sertakan nama, alamat surel, serta identitas jabatan/peran yang Anda geluti di bawah judul tulisan.
Tulisan dikirimkan ke email: indonefian@gmail.com
Jadwal Kerja:
Tanggal | Keterangan |
11-29 September 2020 | Undangan Menulis dan Diskusi via Email |
29 September – 29 Oktober | Penulisan, pengumpulan artikel |
29 Oktober – 8 November | Review Editor |
8 November – 15 November | Revisi Penulis |
15 November – 25 November | Proofreading Final & Layouting |
25 November – 30 November | Review Terakhir & Publikasi |
[1] yaitu pendekatan yang melihat sistem pangan tak lepas dari kekuasaan yang mengakar secara struktural dan historis (Leach dkk, 2020).