Oleh Iswan Kaputra, M.Si
(Bagian 2, selesai)
Pada tulisan bagian pertama, telah dipaparkan bagaimana perubahan iklim mempengaruhi tatanan kehidupan global dan juga di level nasional, Indonesia beserta akibatnya dan korelasinya pada intensitas bencana yang semakin tinggi. Pada bagian kedua ini, kita akan melihat bagaimana dampak perubahan iklim khususnya pada Indonesia dan terkhusus lagi pada tatanan lokal Sumatera Utara dan bagaimana perubahan iklim mempengaruhi krisis air yang akan bermuara pada dampak paling buruk yang paling tidak kita kehendaki, yakni krisis pangan.
Disebutkan dalam policy brief dengan judul “Permasalahan, Tantangan dan Kebijakan Pembangunan Pertanian 2020-2024”, yang dikeluarkan oleh Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian, tahun 2019, bahwa “perkembangan produktivitas padi yang sedikit melambat dan cenderung menurun, sementara peningkatan produksi padi banyak ditopang dari luas panen. Dalam mendukung peningkatan produksi padi, ketika menghadapi perubahan iklim yang ekstrem maka diperlukan upaya antisipasi yang baik melalui upaya khusus penanggulangan kekeringan.”
Dalam melaksanakan pembangunan pertanian saat ini, persoalan mendasar yang masih dihadapi sektor pertanian di masa yang akan datang, mencakup:
1. Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim;
2. Terkait masalah infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air;
3. Terkait sempitnya kepemilikan lahan;
4. Terkait dengan sistem perbenihan dan pembibitan nasional;
5. Terkait akses petani terhadap permodalan kelembagaan petani dan penyuluh; dan
6. Terkait keterpaduan antar sektor atau koordinasi serta sinergi antar sektor.
Menelisik angka-angka yang disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) Langkat melalui publikasi Indikator Ekonomi Kabupaten Langkat 2022, sangat mengejutkan ketika ditemukan angka produksi tanaman pangan yang sangat menurun, bahkan hingga lebih 50% (separuh) antara tahun 2020 hingga 2021, dengan luas lahan yang tetap, tidak ada/nihil pergerakan luas lahan (0%). Komoditas tanaman pangan yang mengalami penurunan paling besar adalah padi sawah mencapai 57,27 persen atau sebesar 214.628 ton dari tahun 2020 ke 2021.
Selain itu, kontribusi kedua penurunan paling besar adalah komoditas jagung yang mencapai 89,96 persen atau sebesar 65.599 ton dari tahun 2020. Masih menurut BPS Langkat, penurunan terjadi karena kesuburan atau unsur hara tanah sudah sangat miskin, iklim (cuaca) tidak kondusif, benih unggul, pupuk, suplai air, serangan hama penyakit dan pengelolaan pasca panen. Ketika dilakukan riset partisipatif oleh BITRA Indonesia pada desa Teluk, Kec Secanggang, Kab Langkat, angka lebih dari 50% penurunan produksi tanaman pangan padi tersebut terkonfirmasi, bahkan telah terjadi hampir 8 tahun terakhir.
Sementara, dalam proses pendampingan Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia untuk wilayah Langkat, terutama desa-desa yang berada pada lahan datar pesisir Pantai Timur, Selat Malaka, seharusnya petani pada wilayah ini sudah mulai tanam padi sawah pada bulan Januari 2022, namun pada bulan Agustus 2022 baru mulai bisa dilakukan penanaman. Pada bulan Januari, masyarakat telah melakukan penyemaian benih, namun saat mau ditanam, tanda-tanda musim hujan tidak ditemukan, hujanpun tidak datang-datang. Akhirnya bibit yang telah disemai tidak bisa ditanam karna tua, tidak layak bibit lagi. Ada masyarakat yang coba-coba tetap menanam, namun hujan tidak datang juga, hingga padi di lahan sawah mati. Ada juga masyarakat yang berupaya melakukan pompaisasi air ke lahan sawah (dilakukan malam hari untuk menghindari cepat kering), namun air yang dipompakan tidak sanggup mengairi lahan karena lahan terlalu kering dan air langsung terserap ke dalam tanah, tidak menggenangi padi, karena lahan sawah sekitarnya juga kering kerontang.
Sementara, pada waktu yang lain, saat lahan banjir, petani tidak bisa menyemai bibit dan juga tidak bisa tanam bibit ke lahan sawah. Jika ada yang memaksakan menanam dalam kondisi musim banjir ini, maka biaya akan tinggi karena bisa 2 sampai 3 kali menyemai baru berhasil dan juga menanam ke lahan sawah, karna yang sebelumnya ditanam gagal terendam banjir. Biaya akan lebih tinggi lagi saat petani melakukan pompaisasi air untuk mengeluarkan air dari lahan dan biaya benih juga tanam yang berulang.
Di Simalungun, beberapa desa pada beberapa kecamatan, mengalami gagal panen karena serangan tikus yang mencapai 60 hingga 70% pada sekitar 4 tahun terakhir, karenanya pemerintah kabupaten membuat kebijakan khusus agar petani melakukan tanam serentak. Belum usai benar masalah serangan tikus pada lahan sawah tanaman pangan petani, masalah lainnya juga menyertai. Selain maraknya alih fungsi lahan kepada pembangunan gedung dan perumahan di sekitar perkotaan, alih fungsi lahan tanaman pangan kepada tanaman perkebunan kelapa sawit juga cukup marak. Alih fungsi lain adalah alih fungsi komoditi tanam petani dari tanaman pangan padi kepada jagung karena serangan tikus dan kekurangan air. Kini, tanaman jagung adalah tanaman industri (untuk pabrikan yang diolah menjadi pakan ternak, khususnya ayam petelur dan pedaging), bukan lagi tanaman pangan pokok.
Masalah krisis air untuk lahan pertanian di Simalungun, merupakan pengambilan air dari sumber-sumber air yang dahulu menjadi sumber air lahan sawah masyarakat tani di Simalungun, namun belakangan waktu dikuasai oleh perusahaan daerah air minum. Persentase dari sumber mata air (umbul) yang mengalir ke lahan masyarakat, jauh lebih kecil dibanding yang disedot oleh perusahaan air minum. Selain lahan sawah masyarakat kurang terairi, masyarakat tani yang dahulu melakukan budidaya mina padi atau memelihara ikan mas secara terpisah pada kolam dekat sawah mereka, kini tidak lagi bisa melakukannya karena kekurangan air.
Tentu masalah-masalah ini sangat bertentangan dengan instruksi dan apa yang dikhawatirkan Presiden Joko Widodo, soal krisis air yang akan berimbas langsung pada krisis pangan. Bukannya melakukan dukungan dengan upaya-upaya luar biasa, daerah terkesan melakukan pembiaran atau bahkan sebaliknya! Justru menyulitkan petani mendapatkan air untuk lahan pertanian mereka.
Karena masalah-masalah tersebut, Bina Keterampilan Pedesaan (BITRA) Indonesia, sebagai sebuah lembaga sosial, Non Goverment Organisation (NGO) yang konsern terhadap masyarakat pedesaan dan pertanian berkelanjutan yang ramah iklim, bersama masyarakat tani dampingan, sejak 2022 lalu, melakukan Penilaian Partisipatif terhadap Risiko Iklim dan Bencana (PACDR) pada hampir semua kelompok dampingan BITRA yang ada di kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai dan Simalungun, dengan tujuan, masyarakat dapat menemukenali masalah utama terkait risiko iklim dan bencana di desanya, sehingga mereka dapat memiliki daya lenting (resiliensi), memitigasi lebih dini dan dapat beradaptasi.
Dalam PACDR dilakukan kegiatan dan materi, antara lain: konteks workshop kajian PACDR, analisis perubahan iklim dan bahayanya, peta bahaya, kalender musim, transek (penelusuran desa), prioritas bahaya, penilaian dampak bahaya, opsi-opsi adaptasi dan pengurangan risiko, analisa dan sintesis hasil, perencanaan aksi komunitas/masyarakat dan pada bagian akhir dari kegiatan yang dilaksanakan 4 hari untuk setiap desa/kelompok masyarakat ini, dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) Adaptasi Iklim yang akan melakukan penyampaian dokumen rumusan mitigasi, adaptasi iklim dan kesiap-siagaan masyarakat dalam menghadapinya kepada pihak pemangku kepentingan terkait; Pemdes, Kecamatan, Pemkab, Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Bappeda, Pemerintah Provinsi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA), Balai Wilayah Sungai (BWS), Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dll.
(selesai) ***
Sudah dimuat di kolom Opini Harian Analisa pada Jumat, 26 Juli 2024
Penulis adalah peneliti dan pegiat pemberdayaan masyarakat pedesaan pada Yayasan BITRA Indonesia & Dewan Nasional Food First Information and Action Network (FIAN) Indonesia