Oleh Iswan Kaputra, M.Si
(Bagian 1)
Pada RPJMN 2015 – 2019, NAWA CITA menjadi agenda prioritas Kabinet Kerja dengan mengarahkan pembangunan pertanian ke depan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, agar Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Butir-butir utama dalam Renstra dan RPJMN Nawa Cita tersebut masih berlanjut dan termaktub dalam penyusunan rencana strategis Kementerian Pertanian tahun 2020 – 2024.
Renstra Kementerian Pertanian (2020 – 2024) menyebutkan, pertanian mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia karena berfungsi sebagai penyedia pangan, pakan untuk ternak, dan bioenergi. Peran pertanian sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional, terutama mewujudkan ketahanan pangan, peningkatan daya saing, penyerapan tenaga kerja, penanggulangan kemiskinan dan sumber utama pendapatan rumah tangga perdesaan. Selain itu, mendorong pertumbuhan agroindustri di hilir dan memacu ekspor komoditas pertanian untuk meningkatkan devisa negara.
Di sisi lain, penyediaan kebutuhan pangan masyarakat merupakan tugas utama yang tidak ringan, yaitu diperkirakan penduduk Indonesia pada tahun 2050 mencapai 330,9 juta jiwa, terbesar keempat di dunia (United Nations Population 2019). Pertanian juga berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ditargetkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC) negara kepada Paris Agreement 2016 (COP/UNFCCC) di bawah PBB/UN.
Perubahan iklim (climate change) merupakan hal yang tidak dapat dihindari akibat pemanasan global (global warming) dan diyakini akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor pertanian. Perubahan pola curah hujan, peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrem, serta kenaikan suhu udara dan permukaan air laut merupakan dampak serius dari perubahan iklim yang dihadapi Indonesia. Pertanian merupakan sektor yang mengalami dampak paling serius akibat perubahan iklim.
Pada tingkat global, sektor pertanian menyumbang sekitar 14% dari total emisi, sedangkan di tingkat nasional sumbangan emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi sebesar 436,90 juta ton CO2e, angka ini hanya bila emisi dari degradasi hutan, kebakaran gambut, dan dari drainase lahan gambut tidak diperhitungkan. Apabila emisi ketiga aktivitas tersebut diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian hanya sekitar 8%. Walaupun sumbangan emisi dari sektor pertanian relatif kecil, dampak yang dirasakan sangat besar. Perubahan pola curah hujan dan kenaikan suhu udara menyebabkan produksi pertanian menurun secara signifikan.
Kejadian iklim ekstrem berupa banjir dan kekeringan menyebabkan tanaman yang mengalami puso semakin luas. Peningkatan permukaan air laut menyebabkan penciutan lahan sawah di daerah pesisir dan kerusakan tanaman akibat salinitas. Dampak perubahan iklim yang demikian besar memerlukan upaya aktif untuk mengantisipasinya melalui strategi mitigasi dan adaptasi.
Laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UNOCHA) mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan terhadap bencana akibat perubahan iklim. Perubahan iklim diyakini akan berdampak buruk terhadap berbagai aspek kehidupan dan sektor pembangunan, terutama sektor pertanian, dan dikhawatirkan akan mendatangkan masalah baru bagi keberlanjutan produksi pertanian, terutama tanaman pangan. Pada masa mendatang, pembangunan pertanian akan dihadapkan pada beberapa masalah serius, seperti:
- Penurunan produktivitas dan pelandaian produksi yang tentunya membutuhkan inovasi teknologi dan membangkitkan kembali berbagai kearifan lokal untuk mengatasinya.
- Degradasi sumber daya lahan dan air yang mengakibatkan soil sickness, penurunan tingkat kesuburan, dan pencemaran.
- Variabilitas dan perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan kekeringan.
- Alih fungsi dan fragmentasi lahan pertanian.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto saat memberikan sambutan pada Rapat Koordinasi Nasional Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) yang dihelat di Pondok Pesantren Alhamidiah, Depok, Jawa Barat, seperti dilansir pada laman www.bnpb.go.id 3 Juni 2023, menyatakan bahwa; “Perubahan iklim terbukti meningkatkan frekuensi kejadian bencana dengan sangat drastis dan lebih ekstrem. Jika dilihat data bencana terkait iklim dengan dampak signifikan, di tingkat global sejak 1961, tren kenaikan anomali suhu rata-rata global berbanding lurus dengan peningkatan frekuensi kejadian bencana. Hal ini sama dengan data bencana di Indonesia, tren kenaikan jumlah kejadian bencana alam mengalami kenaikan hingga 82% (2010 – 2022). Sehingga, benar adanya bahwa peningkatan anomali suhu rata-rata baik di tingkat global maupun nasional menyebabkan meningkatnya frekuensi kejadian bencana, terutama bencana hidrometeorologi,” kata Suharyanto.
Berdasarkan data yang dihimpun BNPB, dari 1 Januari hingga 31 Mei 2023 saja, terdapat setidaknya 1.675 kejadian yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi sebesar 99,1%, dengan rincian 92,5% adalah bencana hidrometeorologi basah dan 6,6% merupakan bencana hidrometeorologi kering, sisanya merupakan bencana geologi dan vulkanologi. Bencana hidrometeorologi basah, akar permasalahan yang utama adalah urbanisasi yang memberikan tekanan pada lingkungan di hilir, dan alih fungsi lahan baik secara sistematis maupun ilegal, yang mengurangi kapasitas daya serap, baik karbon maupun air mulai dari hulu hingga hilir.
Adapun urbanisasi dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dalam bentuk pembuangan asap kendaraan, pabrik maupun lainnya, sehingga menjadikan kualitas udara tidak sehat. Sedangkan alih fungsi lahan biasanya menyebabkan pengurangan vegetasi yang menyebabkan berkurangnya kemampuan alam dalam menyerap karbon dan meningkatkan kerentanan banjir dan longsor karena air tidak terserap secara optimal.
Selain hidrometeorologi basah, bencana hidrometeorologi kering sudah mulai terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Terjadi kenaikan frekuensi kejadian kebakaran hutan dari minggu ke minggu, sehingga beberapa daerah sudah menetapkan status siaga darurat. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa luas lahan terdampak Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) khususnya lahan gambut berbanding lurus dengan emisi karbon yang dilepaskan. Contohnya, pada tahun 2019, dari 1.64 juta hektar lahan terbakar melepaskan 624 juta ton emisi karbon ke udara.
Ini semua menjadi tantangan kita bersama. Bagaimana fenomena global dan regional telah nyata berdampak pada peningkatan intensitas kejadian dan dampak bencana di tingkat lokal. Karenanya, mari kita semua elemen pentahelix, bersama-sama memiliki tanggung jawab untuk memutus lingkaran proses ini supaya kita bisa mengurangi dampak perubahan iklim.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang mungkin tidak peduli apakah bahaya tertentu terkait dengan perubahan iklim atau tidak, tetapi perbedaan itu penting. Seiring berjalannya waktu, perubahan iklim hampir selalu akan memperburuk bahaya terkait iklim, dan asal-usul bahaya. Perubahan iklim juga akan sangat berakibat pada manusia karena bencana-bencana yang terjadi, seperti; perubahan suhu, pola curah hujan, kenaikan permukaan laut, dan kejadian ekstrem pada alam lainnya. Perubahan iklim juga akan mengancam sumber air bersih untuk kehidupan manusia dan sumber air untuk pertanian yang akan berdampak pada mata pencarian masyarakat, terutama di pedesaan.
(bersambung) ***
Sudah dimuat di kolom Opini Harian Analisa pada Kamis, 25 Juli 2024
Penulis adalah peneliti dan pegiat pemberdayaan masyarakat pedesaan pada Yayasan BITRA Indonesia & Dewan Nasional Food First Information and Action Network (FIAN) Indonesia.