Pangan memainkan peran penting bagi setiap pasangan calon (paslon) dalam perhelatan Pemilu 2024 ini. Setiap paslon telah menuangkan gagasan maupun cita-cita mereka dalam sebuah visi serta penjabaran atas visi yang akan dicapai tersebut dalam misi dan pelbagai program. Untuk memahami di mana pangan ditelakkan dalam visi dan misi paslon, selain memahami dengan baik visi, misi, dan program yang dijabarkan, kita juga harus melihat ke belakang bagaimana paslon-paslon menangani berbagai persoalan pangan.
Pangan bukan urusan perut semata; tidak semudah makan, kenyang, lalu selesai. Sistem pangan merupakan proses jauh sebelum itu dan setelahnya, seperti apa sistem pangan yang diterapkan, siapa yang terkena dampaknya, pihak mana yang paling rentan, dan siapa yang paling berkuasa atas pangan dan menyebabkan ketidakadilan. Oleh karenanya, penting untuk melihat persoalan privatisasi; persoalan alih fungsi lahan; persoalan proyek pangan skala luas monokultur dan dampaknya bagi masyarakat dan alam; kualitas atas gizi dan kelayakan pangan masyarakat; kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang terdampak; serta kondisi lingkungan alam tempat masyarakat berpenghidupan. Berdasar poin-poin kritis inilah pangan harus diperhatikan secara jeli, dengan itu akan terlihat bagaimana pelanggaran-pelanggaran hak atas pangan dan gizi (selanjutnya disingkat HAPG) telah terjadi berulang kali dan seringkali dijustifikasi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah.
Ada beberapa visi, misi, serta program yang secara langsung atau pun tidak berkaitan dengan pangan dari ketiga paslon yang menjadi perhatian kami. Paslon nomor dua Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming secara spesifik sudah memiliki program penurunan angka tengkes (stunting). Sebagai bentuk kampanyenya, mereka membagi-bagikan bantuan makanan tambahan berupa susu dan telur serta makan siang di beberapa wilayah di Indonesia. Pembagian susu dan makanan tersebut dilakukan untuk mengantar ke program pembagian susu dan juga makan siang yang mereka usulkan jika mereka terpilih nanti. Beberapa hal dalam kampanye ini menjadi catatan kami. Pertama, bantuan susu yang diberikan merupakan susu kotak siap minum berperisa cokelat dan stroberi yang merupakan bagian dari makanan/minuman ultra proses yang sudah ditambah dengan bahan-bahan tertentu yang harus dicermati kembali efeknya bagi anak-anak. Kedua, persoalan tengkes merupakan puncak gunung es dari adanya pelanggaran HAPG yang terjadi secara sistemik seperti pencerabutan lahan dan kondisi tidak adil lainnya sehingga bantuan makanan tersebut tidak dapat dengan serta-merta dianggap sebagai solusi atas persoalan tengkes. Ketiga, kami menilai bahwa makanan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang sudah seyogianya dipenuhi oleh pemerintah, alih-alih dijadikan donasi sebagai alat kampanye. Dengan perspektif bahwa makanan adalah amal/donasi, pemberi bantuan makanan akan diglorifikasi sebagai si pemberi–terlebih dalam hal ini digunakan sebagai kampanye.
Selain persoalan pengentasan tengkes, hal lain yang menjadi sorotan kami adalah munculnya frasa energi hijau dan biru di dalam misi semua paslon. Salah satu penjabaran lebih lanjut atas hal ini adalah perdagangan karbon (carbon trading) yang dijadikan sebagai solusi persoalan lingkungan terutama krisis iklim. Selama ini kami menilai solusi persoalan iklim dengan perdagangan karbon merupakan solusi palsu atas persoalan iklim akibat terciptanya ketidakadilan akan siapa yang harusnya mengkompensasi penggunaan karbon berlebih. Apalagi skema ini sangat berpotensi menciderai hak atas pangan dan gizi masyarakat adat dan masyarakat yang masih menggantungkan pangannya dari alam dengan cara merampas tanah-tanah mereka sebagai area konservasi karbon yang tidak bisa lagi diakses oleh masyarakat. Pada akhirnya, meski terlihat progresif, ekonomi hijau dan biru sangat mungkin menjadi jubah dari solusi palsu atas persoalan perubahan iklim bernama greenwashing (pemasaran alam) dan merupakan salah satu bentuk baru neokolonialisme.
Tawaran paslon selanjutnya yang kami anggap berpotensi menjadi sesuatu yang problematis dan harus dipahami secara saksama adalah konsep pertanian kontrak (contract farming) yang selalu didengungkan oleh paslon nomor satu (Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar) sebagai solusi dari program Food Estate (selanjutnya disingkat FE) yang mereka anggap tidak berjalan dengan baik. Konsep pertanian kontrak yang dimaksudkan oleh mereka adalah pemerintah akan langsung membeli bahan pangan dari petani atau kelompok petani sehingga dapat menjaga harga dari petani. Hal ini diharapkan akan membuat harga di tangan pembeli di kota juga menjadi terjangkau. Pertanian kontrak bukanlah hal yang sama sekali baru, termasuk di Indonesia. Sistem tersebut juga diterapkan pada proyek FE di Sumatera Utara. Salah satu hal yang tertulis dalam kontrak tersebut adalah perjanjian untuk memproduksi komoditas hortikultura kentang industri, bawang merah, dan bawang putih. Petani dalam proyek FE itu tidak dilibatkan dalam penentuan komoditas yang akan ditanam. Hal tersebut sangat berpotensi menghilangkan otonomi petani untuk menjalankan sistem pertanian sesuai dengan karakteristik alam dan pangannya sendiri demi tunduk pada perjanjian yang diarahkan oleh korporasi.
Bilamana dibandingkan dengan visi-misi Jokowi-Ma’ruf tahun 2019 lalu, ada beberapa poin yang baru muncul di visi-misi paslon pemilu 2024 ini yang seolah-olah bisa memberikan solusi atas persoalan pangan yang ada. Kata atau frasa seperti pangan, energi, energi hijau, energi biru, kesehatan, kesetaraan gender, industrialisasi, serta hilirisasi menjadi kunci penting yang bisa menggambarkan gagasan, program, serta tata kelola seperti apa yang akan diimplementasikan oleh masing-masing paslon jika mereka menang kelak. Poin-poin tadi merupakan diskursus dan program yang memang telah dan tengah jamak digodok dan dijalankan oleh para pemangku kebijakan di level internasional (dan kemudian diadopsi di level nasional bahkan regional dan lokal) beberapa waktu terakhir. Dalam visi-misi tersebut terlihat bahwa pembangunan ekonomi masih menjadi kata kunci tak terpisahkan dari misi para paslon. Model pertanian pangan agro-industri rasanya masih menjadi preferensi pemerintah Indonesia sampai detik ini. Program Strategis Nasional Food Estate menjadi salah satu hal yang kami soroti beberapa waktu belakangan. FE menjadi cerminan yang sempurna atas karakteristik dari program ketahanan pangan yang diadopsi oleh perusahaan pangan multinasional, jaringan internasional dari lembaga penelitian, dan lembaga internasional yang menggunakan skala yang luas, teknologi yang canggih, padat masukan (input intensive), dengan menggunakan metode agrikultur yang dikombinasikan dengan sistem global yang diatur oleh pengusaha kapitalis, serta menggunakan pendekatan top-down. Jika tidak secara hati-hati memahami dan mengeluarkan solusi atas pangan, kita seringkali lupa bahwa tujuan utama pangan adalah untuk mensejahterakan rakyat, alih-alih sebagai alat ekonomi makro untuk memperkaya segelintir orang semata.
Berbicara persoalan hak atas pangan dan gizi, juga menyangkut hak atas tanah. Sektor pertanian menjadi salah satu kunci dalam perbincangan soal pangan dan hak atas tanah. Data BPS 2021 menunjukkan bahwa rumah tangga tergolong miskin di Indonesia sebagian besar berasal dari sektor pertanian, yakni sebesar 51,33%. Angka ini tentunya menunjukkan bahwa petani sebagai produsen pangan yang seharusnya menerima kesejahteraan hidup yang layak, justru harus berada dalam kesengsaraan. Selain disebabkan oleh kebijakan pangan pemerintah yang berorientasi pada perusahaan besar seperti FE dan impor pangan, petani juga dihantui persoalan perampasan tanah yang dilakukan oleh negara atau swasta yang digunakan sebagai lahan PSN. Dalam pemilu ini, ketiga paslon menawarkan adanya reforma agraria. Namun demikian, hal itu dianggap oleh Sekjen KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) Dewi Kartika sebagai “gula-gula” semata untuk menarik suara dari kalangan petani dan masyarakat pedesaan.
Dalam pembuatan kebijakan soal pangan maupun hal-hal yang berkaitan dengan pangan, masing-masing paslon yang pernah atau bahkan masih menjabat di pemerintahan ini memiliki rapor merahnya masing-masing. Capres nomor urut pertama Anies Baswedan ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta melakukan perpanjangan swastanisasi pengelolaan air minum di Jakarta yang merugikan warga, terutama bagi mereka yang berada di tingkat ekonomi menengah ke bawah. Pembuatan kebijakan soal pangan yang merugikan juga dilakukan oleh capres nomor urut dua Prabowo Subianto. Prabowo yang sekarang masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan menjadi salah satu penanggung jawab proyek Food Estate di Kalimantan Tengah. FE hanya menyisakan kerusakan lingkungan, pengabaian hak atas tanah masyarakat dan sumber daya alam, intimidasi terhadap masyarakat, penggunaan agro-toksik atau bahan kimia pertanian, perluasan makanan ultra proses, dan kerugian ekonomi masyarakat sekitar. Paslon nomor urut terakhir Ganjar Pranowo juga tidak terlepas dari rapor buruknya. Ketika menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, Ganjar tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung untuk mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia di Pegunungan Kendeng. Ia bahkan menerbitkan izin yang baru untuk perusahaan tersebut.
Hak atas pangan dan gizi sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia (HAM) yang melindungi setiap individu untuk mendapatkan pangan yang layak dan sehat, serta bebas dari kelaparan. Hak ini dijamin dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan Pasal 11 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pemerintah sebagai pengemban tugas pemenuhan HAM memiliki tanggung jawab untuk memastikan kecukupan, ketersediaan, keterjangkauan, dan keberlanjutan pangan masyarakat. Dengan demikian, prinsip-prinsip hak atas pangan dan gizi harus menjadi pertimbangan utama dalam memberikan solusi-solusi atas pangan. Untuk itu, kami mendesak para paslon–baik yang masih menjadi bagian dari pemerintahan saat ini serta sebagai calon presiden dan wakil presiden–yang memiliki kewajiban sebagai pengemban tugas pemenuhan HAM di Indonesia untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAPG masyarakat Indonesia dengan cara:
- Mengakui bahwa hak atas pangan dan gizi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak bisa diganggu gugat sehingga membutuhkan regulasi khusus yang mengaturnya termasuk mekanisme pengaduan pelanggaran hak atas pangan dan gizi yang dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat (masyarakat adat, perempuan, lansia, orang muda, orang dengan disabilitas).
- Mengusung program-program yang berkaitan dengan persoalan pangan dengan sistem berbasiskan HAPG yang menitikberatkan pada kesejahteraan produsen pangan, keadilan, kecocokan karakteristik sistem pangan sesuai dengan kondisi sosio-kultural dan geografis masyarakat, serta tidak mengakomodasi solusi-solusi yang tidak berbasiskan hal-hal di atas (contoh: Food Estate/pertanian monokultur skala luas berorientasi pasar). Hal ini dapat dilakukan di antaranya dengan cara mengakui sistem pertanian, perikanan, perkebunan lokal masyarakat dan juga juga melindungi pengetahuan masyarakat lokal serta keanekaragaman pangan Nusantara dengan regulasi.
- Negara wajib menjamin penghormatan terhadap HAPG dengan melakukan pencegahan terhadap pelanggaran HAPG dengan memastikan tidak adanya perusakan dan pengambilalihan kontrol atas lahan-lahan masyarakat adat/lokal, termasuk produksi pangan dengan justifikasi apa pun, serta negara wajib melakukan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah kepada petani, nelayan, dan masyarakat adat. Perusahaan juga wajib dibebankan tanggung jawab atas pelanggaran HAPG yang dilakukan/disebabkannya. Dalam melaksanakan tugasnya, kewajiban dan tanggung jawab negara tidak terbatas pada melindungi dan memulihkan dari pelanggaran hak atas dan gizi; begitu pun juga tanggung jawab pelaku usaha seharusnya lebih dari hanya menghormati hak atas pangan dan gizi seperti yang tersemat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2023 Tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
- Menentang segala upaya pengambilalihan kontrol atas sistem pangan masyarakat dengan agenda-agenda industri terhadap pangan, termasuk menandatangani UPOV 1991 yang akan mengakibatkan hilangnya kontrol petani atas benih, memberikan izin penanaman benih Genetically Modified Organism (GMO) yang akan menggerus keanekaragaman hayati, serta tidak membatasi pengonsumsian pangan ultra proses yang tidak sehat dan bergizi.
- Memahami dan menyadari bahaya dari donasi/bantuan dalam bentuk pangan ultra proses yang tidak menggunakan pertimbangan-pertimbangan pangan yang sehat dan bergizi serta layak secara budaya. Oleh karenanya, kami FIAN Indonesia mengusulkan kepada pemerintah/ paslon untuk mempromosikan sumber pangan lokal masyarakat dalam agenda bantuan pangan ketika terjadi krisis atau masyarakat tidak dapat mengakses pangan yang sehat dan bergizi serta memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pencegahan malnutrisi (termasuk tengkes) pada anak.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar dapat menjadi perhatian dan bahan pertimbangan semua pihak. Kami juga menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan Organisasi Masyarakat Sipil untuk tetap kritis terhadap visi, misi, program maupun tawaran-tawaran lain, terutama yang berkaitan dengan pangan yang disampaikan oleh ketiga paslon dalam Pemilu 2024 nanti. Pangan merupakan persoalan kita bersama yang juga harus dipahami secara saksama.
Kontak Person:
Indraini Hapsari, FIAN Indonesia (e-mail: i.hapsari@fian-indonesia.org)
Natasha Devanand Dhanwani, FIAN Indonesia (e-mail: natasha.dha@fian-indonesia.org)
Pernyataan secara lengkap bisa diakses di Pernyataan Sikap Pangan dan Pemilu_FIAN Indonesia.docx