Sepanjang Rezim Pemerintahan Joko Widodo, reforma agraria dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria yang berorientasi pada menurunnya ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah. Reforma agraria, oleh rezim diterjemahkan menjadi agenda legalisasi aset dan pembukaan akses masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap sumber daya hutan melalui perhutanan sosial. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) pada Reforma Agraria Summit 2024 mengklaim bahwa pemerintah berhasil membantu masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan melalui pemberian kepastian hukum atas tanahnya selama satu dekade (2014-2024). AHY menyampaikan telah Kementerian ATR/BPN telah melakukan redistribusi tanah sejumlah 14.968 bidang dengan luas 5.133 hektar untuk 11.017 KK. Selain itu, program pemerintah untuk melakukan legalisasi aset dan redistribusi tanah diklaim telah dilakukan dengan total luas tanah mencapai 12,5 juta hektar. Padahal, secara prinsip, aktivitas pemerintah yang diklaim untuk menurunkan ketimpangan tersebut justru mempertahankan ketimpangan sebab skema legalisasi aset dan redistribusi tanah yang dilakukan tidak menyentuh lokasi-lokasi ketimpangan dan konflik agraria yang terjadi belasan bahkan puluhan tahun (KPA, 2024).
Indonesia dengan pilihan model pemerintahan demokrasi yang berbasis pada konsep kedaulatan rakyat secara historis dipengaruhi oleh pengalaman ketertindasan melalui kebijakan dan cengkeraman kolonial. Ruh kedaulatan rakyat mendorong pada cita-cita bangsa yang termasuk pada tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mewujudkan kesejahteraan serta keadilan sosial. Restrukturisasi penguasaan atas sumber-sumber agraria menjadi langkah penting untuk memulai tatanan negara pasca kolonial. Sumber-sumber agraria sebagai sumber-sumber penghidupan kemudian menjadi objek utama restrukturisasi melalui agenda reforma agraria untuk mendorong transformasi sosial.
Dalam konteks pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), lebih jauh, reforma agraria merupakan jalan yang harus ditempuh negara untuk melakukan realisasi Hak atas Pangan dan Gizi (HaPG). Setiap orang berhak untuk mendapatkan makanan yang cukup secara kualitas dan kuantitas, yang sehat dan sesuai budaya (baik secara individu maupun kelompok masyarakat), dan berhak untuk mendapatkan pangan secara berkelanjutan dan bermartabat. Kondisi berkelanjutan dan bermartabat tersebut hanya mampu diupayakan apabila setiap orang memiliki haknya atas pemilikan dan penguasaan sumber-sumber nafkah. Analisis FIAN Indonesia membaca bahwa upaya negara dalam realisasi hak atas pangan dan gizi justru kontradiktif. Proyek food estate yang dianggap sebagai solusi untuk menghadapi krisis pangan, menjelma menjadi proyek raksasa dengan keistimewaan implementasi yang dalam prosesnya disertai berbagai jenis pelanggaran. Duka cita begitu mendalam dirasakan dan kekerasan harus dialami oleh warga negara melalui tangan-tangan negara.
selengkapnya baca di sini