BENIH GMO BUKAN SOLUSI, KEMENTAN GAGAL ATASI ANCAMAN KRISIS PANGAN
Jakarta, 31 November 2022 – Setiap tahun pada tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Tahun ini, peringatan HPS dibayang-bayangi oleh ancaman krisis pangan. Kekhawatiran krisis pangan bersumber dari catatan badan pangan dunia (FAO) terkait kenaikan harga pangan global. Pada Maret 2022 lalu, indeks pangan FAO (FFPI) mencatat kenaikan tertinggi sepanjang sejarah yakni di angka 159,7. Meskipun situasi berangsur-angsur menurun hingga bulan September. Namun secara umum indeks harga pangan Januari – Oktober tersebut, lebih tinggi dari indeks harga dua tahun sebelumnya (2020 dan 2021).
Krisis pangan ini juga sejalan dengan laporan SOFI (The State of Food Security and Nutrition in the World) Tahun 2022 mencatat angka kelaparan penduduk dunia mencapai 828 juta orang di tahun 2021. Angka tersebut meningkat 46 juta orang dibandingkan tahun 2020 (782 juta orang) dan meningkat 150 juta orang jika dibandingkan sebelum terjadinya pandemi Covid-19. Dengan data terakhir ini, PBB memprediksi jumlah angka kelaparan pada tahun 2030 mendatang lebih dari 670 juta orang dan angka ini jauh di atas target program zero hunger.
Dalam konteks Indonesia, ancaman krisis pangan ini semestinya bisa dilalui karena Indonesia salah satu negara agraris yang kuat. Namun faktanya hari ini Indonesia masih sangat ketergantungan pemenuhan pangan dari luar negeri (impor pangan) seperti komoditas beras, daging, biji gandung dan meslin, serealia maupun gula. Upaya pemerintah menjawab ancaman krisis pangan bisa diatasi apabila dilakukan dengan kebijakan yang tepat.
Poin penting yang harus dilakukan pemerintah adalah mempercepat pelaksanaan reforma agraria sebagai jawaban Guremisasi Petani atau peningkatan jumlah petani yang memiliki, menguasai dan dapat mengakses tanah pertanian dengan luasan dibawah 0,5 hektar. Survei Pertanian antar Sensus (SUTAS 2018) menyebutkan terjadi peningkatan jumlah petani gurem di Indonesia dari 14 juta (2013) menjadi 15,8 juta (2018).
Sementara, alih fungsi lahan pangan di daerah Jawa maupul luar Jawa meningkat menjadi 150 ribu hektar pada tahun 2019 yang sebagian besar perumahan dan perkebunan, dan diperkirakan pada tahun 2045 lahan sawah kita tinggal sekitar 5,1 juta hektar, dari perkiraan lahan baku sawah saat ini sekitar 7,46 juta ha (Badan Litbang Kementerian Pertanian) .
Perlu diketahui upaya pemerintah mendorong kebijakan food estate sebagai solusi krisis pangan bukan jalan keluar yang tepat. Food estate hanya akan menempatkan produksi pangan di Indonesia akan tergantung dan diurus oleh korporasi pertanian besar baik itu korporasi luar negeri dan Indonesia, serta menjadikan petani menjadi buruh di negeri sendiri.
Padahal Organisasi Pangan Dunia (FAO) telah menyatakan bahwa petani dan pertanian kecil yang dikelola keluarga petani (family farming) yang memberi makan masyarakat dunia, bukan korporasi pertanian. Kesalahan yang sama ini juga akan terulang apabila pemerintah mendorong kembali mengembangkan dan menggunakan benih-benih rekayasa genetik atau genetic modified organism (GMO) di Indonesia. Pada September lalu, Menteri Pertanian berencana melakukan impor benih GMO Kedelai untuk menggenjot produksi. Padahal menurut petani kecil, benih-benih GMO membuat ketergantungan bagi petani, merusak lingkungan, tidak sehat, serta mengancam keanekaragaman benih lokal yang ada di Indonesia. Hasil panen dari benih GMO juga banyak mendapatkan penolakan untuk dikonsumsi, seperti oleh negara-negara Eropa.
Berdasarkan praktik dilapangan, pengalaman krisis pangan tahun 2008 lalu dan cita-cita dimasa depan, masalah pangan tidak bisa diatasi dengan ketahanan pangan. Ketahanan Pangan hanya menguntungkan korporasi transnasional dan melemahkan keluarga petani.
Kami menegaskan ancaman krisis pangan di dunia dan khususnya di Indonesia hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan Kedaulatan Pangan. Kedaulatan Pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan pangannya secara mandiri, meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran di bidang pertanian, peternakan dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional (UU Pangan 18/2012).
Oleh karena itu, melalui aksi di Kementerian Pertanian RI ini Kami Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan menuntut:
- Pemerintahan Indonesia melalui Kementerian Pertanian harus meninggalkan pendekatan Ketahanan Pangan dan menggunakan pendekatan Kedaulatan Pangan dalam mengurus pangan di Indonesia;
- Kementerian Pertanian harus mendorong Bapak Presiden Joko Widodo dan Kementerian terkait untuk mempercepat pelaksanaan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria sebagai solusi krisis lahan pertanian atau guremisasi petani;
- Pemerintahan Indonesia melalui Kementerian Pertanian tidak lagi mempromosikan sistem pertanian konvensional dengan penggunaan benih-benih GMO, pupuk kimia, dan pestisida kimia dalam praktek pertanian, dan menggantikannya dengan sistem pertanian agroekologi karena mampu memperbaiki kerusakan alam, mensejahterakan petani, serta produksi pertanian lebih maksimal dan sehat.
- Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian tidak lagi menggunakan dan mempromosikan food estate dalam mengatasi krisis pangan karena hanya membuat ketersediaan pangan tergantung kepada korporasi dan menempatkan petani kecil sebagai buruh. Kementerian pertanian harus mengganti food estate dengan praktik-praktik pertanian terpadu yang dibuat Keluarga Petani, seperti Kawasan Daulat Pangan (KDP) yang dijalankan petani-petani SPI; dan
- Kementerian Pertanian segera merevisi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pembinaan Kelembagaan Petani pada tanggal 20 Desember 2016, yang hanya mengakui Kelompok Tani (Poktan), Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan), Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional saja. Sedangkan organisasi petani yang berbentuk seperti serikat, paguyuban, aliansi, kesatuan, himpunan dan yang lainnya termasuk juga ke dalam kelembagaan petani dan memiliki hak yang sama. Peraturan ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) tentang kebebasan berorganisasi (28E ayat 3), serta putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 87/PUU-XI/2013 tanggal 5 November 2014 tentang revisi Permentan 82/2013 tentang Pedoman Pembinaan Poktan dan Gapoktan salah satunya memperbaiki pasal 70 ayat (1) tentang kelembagaan petani dengan menambahkan frasa “serta kelembagaan petani yang dibentuk oleh para petani”.