Jakarta, 7 Desember 2021 – FIAN Indonesia dan Solidaritas Perempuan kembali mengurgensikan pentingnya kesadaran publik dan perhatian pemerintah terhadap hak-hak perempuan atas pangan, kedaulatan agraria, dan lingkungan yang layak dalam webinar “Menghapuskan Rantai Diskriminasi terhadap Perempuan atas Sumber Agraria dan Pangan yang Layak”. Kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan kerap terjadi karena hilangnya sumber daya penghidupan yang menyokong kehidupan perempuan dan keluarganya.
Hal ini salah satunya dapat dilihat dalam Concluding Observation atau Observasi Penutup dari Komite CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) kepada pemerintah Indonesia. Observasi Penutup tersebut memuat beberapa rekomendasi penting terkait pemajuan hak perempuan atas pangan, sumber daya alam, dan sumber-sumber agraria, terutama yang terkait dengan dampak destruktif dari UU Cipta kerja.
Dalam webinar ini dipaparkan bagaimana kekerasan dan diskriminasi perempuan terjadi akibat hilangnya sumber penghidupannya dan mengapa negara harus bertanggung jawab dalam menjamin hak perempuan atas pangan dan lingkungan hidup yang layak. Dari diskusi yang muncul, setidaknya ada dua perhatian utama mengapa isu ini harus lebih menjadi perhatian publik sekaligus pemerintah.
Pertama, pengubahan lanskap atau bentang alam besar-besaran yang terjadi secara global, yang kemudian menimbulkan kekerasan struktural yang mempertaruhkan hak-hak perempuan. Menurut Laksmi A. Savitri, Ketua Dewan Nasional FIAN Indonesia, “Kekerasan struktural bisa muncul ketika ada struktur sosial, ekonomi, dan yudisial yang membatasi individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.” Secara biologis, perempuan memiliki kemampuan reproduksi yang memungkinkannya untuk melahirkan, sehingga mereka terasosiasi dengan kerja-kerja perawatan, mulai dari merawat anak, orangtua, hingga kebutuhan pangan dan rumah tangga.
Ketika alam rusak, masyarakat yang tercerabut dari alam akan mengalami pemiskinan dan kehilangan sumber daya produktif. Perempuan yang dilekatkan dengan kerja-kerja perawatan akan mengalami kekerasan seiring sulitnya pemenuhan kebutuhan keluarga. Dalam keadaan tersebut, kesehatan dan hak pangan perempuan akan dikesampingkan karena mereka harus memenuhi kesehatan dan pangan anggota keluarga lainnya terlebih dahulu.
Dalam hal ini, dari perspektif hak asasi manusia, negara sebagai penanggung kewajiban (duty-bearer) seharusnya mengintervensi dan bertanggungjawab untuk memberikan keamanan, kenyamanan, dan perlindungan kepada perempuan. “Sayangnya aktor utamanya (dari pengrusakan ekologis) malahan negara dan militer,” tambah Laksmi lagi.
Kedua, adanya globalisasi yang artinya membuka batas-batas ekonomi suatu negara, menjadikan satu negara menyerahkan diri pada pasar, yakni ke dalam sistem ekonomi tunggal dan menghapus keberagaman sistem ekonomi di masyarakat (human economy). Era Presiden Joko Widodo sangat menunjukkan agenda-agenda pemerintah untuk masuk lebih jauh ke dalam globalisasi ini dengan pembangunan infrastruktur yang masif, kemudahan investasi (termasuk investasi asing), perjanjian-perjanjian perdagangan internasional (misalkan RCEP), dan pembuatan Undang-Undang Cipta Kerja.
Globalisasi, sistem pembangunan, dan kebijakan terkait lingkungan tidak berusaha menghapus budaya patriarki yang masih mencengkram perempuan dan malah menyuburkannya. “Kita tahu dalam hal domestifikasi, perempuan semakin menghadapi jam kerja panjang tanpa upah. Selain itu, identitas perempuan sebagai petani dan nelayan tidak diakui dan hanya dianggap membantu suami atau ayahnya alih-alih sebagai pekerja. Perempuan juga kerap dikecualikan dalam konsultasi dan pengambilan keputusan terkait pembangunan dan terdapat kebijakan yang absen analisis dan kepentingan perempuan,” ungkap Dinda Annisaa Yuura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan. Dinda juga menambahkan, “Dalam konteks kebijakan, memang ada (kebijakan) yang melindungi hak perempuan atas pangan. Tapi kemudian kebijakan yang melanggar HAM dan hak perempuan itu jauh lebih banyak.”
Beberapa aturan dalam CEDAW ditujukan khusus untuk perempuan pedesaan termasuk hak atas pangan dan agraria yakni dalam Pasal 14, Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 34 Tahun 2016 (terkait Diskriminasi perempuan pedesaan terhadap lahan dan SDA), dan No. 37 Tahun 2018 (terkait gender dalam pengurangan resiko bencana dalam konteks perubahan iklim). Indonesia sendiri, melalui CEDAW Working Group Indonesia, telah beberapa kali mengusung isu ini untuk ditindaklanjuti para Komite.
“Banyaknya isu diskriminatif terhadap perempuan di lapangan ini kemudian kita ungkapkan seperti situasi perempuan di wilayah tambang, situasi perempuan di perkebunan kelapa sawit, situasi perempuan petani, dan situasi perempuan di wilayah pesisir. Itu kita angkat dalam laporan CEDAW di klaster isu perempuan pedesaan,” jelas Rena Herdiyani dari CEDAW Working Group Indonesia sekaligus Wakil Ketua Kalyanamitra.
Merespon hal ini, Observasi Penutup Sesi Ke-80 dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk memperjuangkan kampanye dan advokasi menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan atas pangan dan sumber daya alam yang layak. Ana Maria Suarez-Franco dari FIAN International Kantor Jenewa mengungkapkan, “Melalui Observasi Penutup, komite CEDAW memberikan beberapa rekomendasi yang baik kepada Indonesia. Ada banyak cara untuk memperkuat advokasi, dari membangun informasi dengan komunitas akar rumput untuk memahami CEDAW, hingga ikut berpartisipasi dan mendukung kelompok-kelompok perempuan yang aktif mengawal ini sekaligus memperkenalkan topik yang kita pantau.”
Diskusi ini kemudian berkesimpulan pada pandangan seluruh pembicara soal pentingnya cara pandang interseksionalis untuk melihat keterkaitan dan akar permasalahan dari diskriminasi dan kekerasan yang membuat hak-hak perempuan tidak tercapai, karena perempuan mengalami kekerasan yang berlapis dan seringkali saling terkoneksi satu sama lainnya, “Seorang perempuan adat pejuang HAM mengalami kekerasan oleh aparat, misalnya, tetapi ketika ia berada di rumah, ia juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Oleh karena itu kompleksitas kekerasan terhadap perempuan harus diselami,” tutup Rena. []