FIAN Indonesia, KSPPM, BITRA Indonesia, PETRASA, dan KPA Sumatera Utara
Jakarta, 24 Februari 2022 – Studi bersama FIAN Indonesia, KSPPM, BITRA Indonesia, PETRASA dan KPA Sumatera Utara dirilis pada Rabu, 23 Februari 2022 dalam webinar, Menelusuri Komitmen Hak atas Pangan dan Gizi serta Hak Asasi Manusia dalam proyek Food Estate di Sumatera Utara.
Webinar ini menghadirkan empat pembicara yaitu Fuad Abdulgani, Gusti Nur Asla Shabia, Prof. Posman Sibuea, dan Kartini Samon. Hadir juga sebagai penanggap atas laporan ini dari Komnas HAM, Sandrayati Moniaga; dari Ombudsman RI, Miftah Firdaus; dan dari AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak.
Dalam pertemuan tersebut, Fuad Abdulgani, Koordinator Peneliti untuk Riset Food Estate di Sumatera Utara mengungkap bahwa studi lapangan di desa Riaria ditemukan ada perampasan kontrol pengelolaan hak atas tanah dari petani ke korporasi agribisnis melalui pertanian kontrak, serta usaha mengintegrasikan petani dengan rantai global. Tidak hanya itu, pada musim tanam kedua skema kerjasama antarperusahaan dan petani memperlihatkan relasi kuasa yang tidak setara antara keduanya. “Ini semakin memperburuk kebijakan Food Estate yang mengabaikan realitas lokal-spesifik dan basis ketahanan pangan rumah tangga petani.”
Menambahkan penjelasan di atas, Gusti Nur Asla Shabia, Staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia mengatakan bahwa ada potensi maladministrasi dan pelanggaran hak atas pangan dan gizi dalam Food Estate. “Minimnya partisipasi, keseimbangan hak dan kewajiban antara petani dan perusahaan dalam relasi kontraktual, serta akuntabilitas dan transparansi dalam perencanaan dan pelaksanaan Food Estate menunjukan potensi ini. Sementara, terdapat indikasi negara melanggar hak atas pangan dengan penyelenggaraan Food Estate yang tidak menghargai budaya pertanian yang berlangsung bertahun-tahun dan tidak melindungi petani dari pihak ketiga, dalam hal ini korporasi.”
Prof. Posman Sibuea, Guru Besar UNIKA Santo Thomas menyebut bahwa “Program Food Estate ini top-down, tidak menampung aspirasi masyarakat lokal ataupun pemerintah daerah.” Menurutnya seharusnya pemerintah memilih komoditas yang sesuai dengan program ketahanan pangan nasional, yaitu menurunkan konsumsi beras dan menaikkan konsumsi ikan dan sayur-sayuran untuk mencegah stunting. Sayangnya, Ia melihat, “Komoditas yang sekarang itu untuk kebutuhan industri.”
Kartini Samon dari GRAIN mengatakan bahwa pembangunan Food Estate bukan untuk kepentingan pangan nasional. “Ketika kita melihat tujuan awalnya adalah untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan pangan akibat pandemi, tetapi target Food Estate sendiri pada akhirnya adalah untuk menembus pasar internasional. Lagi-lagi, kita melihat petani diberi tanggung jawab untuk memberi makan dunia, tetapi melupakan bahwa mereka yang hidup di area di mana produksi pangan itu dilangsungkan kehilangan sumber pangan dan penghidupannya,” pungkasnya.
Menanggapi empat pembicara tersebut, Sandrayati Moniaga dari Komnas HAM mencatat bahwa pemerintah belum mengutamakan kebutuhan pembangunan berbasis kedaulatan pangan, keberlanjutan secara ekologis, dan jaminan dari ketergantungan dan kerentanan fluktuasi harga komoditas perkebunan. Menurutnya, “Negara wajib mendukung kebutuhan keterbukaan informasi publik, harus sepenuhnya transparan dan melibatkan masyarakat.”
Miftah Firdaus dari Ombudsman RI menegaskan bahwa ketika ada kerugian materiil dan immateriil dalam pelaksanaan proyek Food Estate, terkhusus pada petani, terdapat potensi maladministrasi. Temuan Ombudsman sendiri mencakup dugaan maladministrasi bahkan dari tahap perencanaan, mulai dari ketiadaan kajian yang matang dan masalah pembebasan lahan, hingga pengabaian budaya lokal dan kurangnya pembinaan menilik ada introduksi komoditas baru.
Roganda Simanjuntak dari AMAN Tano Batak mengatakan, “Masyarakat adat menghadapi masalah berlapis dengan belum diakuinya mereka sebagai masyarakat adat serta perampasan wilayah adat berulang-ulang lewat klaim hutan negara, konsesi, pembangunan pariwisata, dan kini salah satunya dengan program Food Estate.” Lebih lanjut Roganda meminta agar program ini dihentikan sebelum hak atas tanah masyarakat adat dipenuhi. “Karena kemungkinan besar ketika areal hutan beralih jadi areal food estate akan muncul bencana yang baru; seperti longsor dan kekeringan karena hutan kemenyan adalah hutan terbaik di kawasan Danau Toba.”
Oleh karena itu, kami FIAN Indonesia, KSPPM, BITRA Indonesia, PETRASA, dan KPA Sumut mendesak Pemerintah Indonesia, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk:
- Menghormati HAM dan mengedepankan realisasi progresif hak atas pangan dan gizi dengan menyikapi secara serius temuan indikasi pelanggaran HAPG dan maladministrasi dari hasil penelitian dan investigasi yang telah dilakukan atas pelaksanaan Food Estate di Sumatera Utara.
- Mengkaji dan mengevaluasi pelaksanaan, capaian, dan dampak dari proyek Food Estate dengan memastikan partisipasi petani dan masyarakat terdampak, pakar, dan publik yang dilaksanakan secara independen.
- Menghentikan kerjasama yang merugikan petani skala kecil, masyarakat adat, perempuan dan pekerja pertanian lainnya, serta yang merusak lingkungan dalam Food Estate, terutama terkait dengan perampasan kontrol oleh korporasi.
- Mengalokasikan sumber daya pemerintah secara optimal untuk mendukung pembangunan pertanian yang berakar pada sumber daya dan budaya pertanian lokal dengan memberikan partisipasi bermakna kepada produsen pangan (petani, masyarakat adat, perempuan, pekerja di pertanian) dan dengan penyelenggaraan yang akuntabel.