Jakarta, 1 Agustus 2023 – FIAN Indonesia dan Indonesia for Global Justice (IGJ) mewakili Indonesia Focal Point (IFP) menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan pertemuan konsultasi regional Organisasi Masyarakat Sipil (CSO, Civil Society Organization) Asia yang bertajuk “CSOs’ Forum on Regional Consultation on the Legally Binding Instrument to Regulate, in International Human Rights Law, the Activities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises” secara hibrid, yaitu secara luring di Hotel Grand Cemara, Jakarta Pusat dan juga melalui Zoom. Forum CSO ini didukung secara organisasi maupun finansial oleh Rosa Luxemburg Foundation dan FIAN Internasional.
Secara garis besar, Forum CSO ini memiliki empat (4) tujuan, yakni: (1) Memastikan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Asia memahami relevansi politik LBI dan lebih kuat dalam mengadvokasi pembuat kebijakan untuk berpartisipasi secara aktif dalam negosiasi LBI; (2) Memperkuat kerjasama, koordinasi, dan solidaritas antar jaringan masyarakat sipil di kawasan Asia dalam rangka advokasi realisasi LBI; (3) Memperkuat keterlibatan masyarakat sipil dengan para pengambil keputusan di wilayah masing-masing, untuk memastikan bahwa posisi negara dapat mewakili aspirasi masyarakat sipil dan gerakan sosial; dan (4) Mendiskusikan dan memperkuat strategi OMS Asia untuk mendorong partisipasi yang aktif dari negara-negara maju di kawasan Asia dalam proses negosiasi yang akan datang. Forum ini dihadiri oleh berbagai kelompok masyarakat sipil, baik yang berasal dari Indonesia maupun wilayah lain di Asia maupun luar Asia, seperti Filipina, Bangladesh, Pakistan, Nepal yang memperjuangkan realisasi LBI di wilayah mereka masing-masing.
Forum ini terdiri atas enam (6) sesi. Di sesi pertama, pemapar yakni Olisias Gultom (Sahita Institute) bersama Rachmi Hertanti (Dewan Nasional FIAN Indonesia) mempresentasikan mengenai tinjauan situasi global dan kondisi geopolitik dewasa ini. Pemapar menjelaskan mengenai posisi negara-negara Selatan dalam merespons kondisi geopolitik akhir-akhir ini. Seperti yang diketahui bersama, geopolitik dewasa ini sedang diwarnai oleh kondisi yang multipolar. Negara-negara Selatan juga masih bergantung dengan negara yang memiliki kekuatan ekonomi. Oleh karenanya, diperlukan adanya strategi bersama untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang kini seakan menguasai dunia tidak melakukan pelanggaran HAM dalam melakukan praktik bisnisnya. Strategi itu dapat dilakukan dengan mengadvokasikan LBI.
Di sesi kedua, Tony Salvador dari Third World Network dan ATF memaparkan penjelasan singkat tentang LBI dan perkembangan politik terkini yang menyangkut LBI. Salvador mengatakan bahwa LBI dapat membantu para buruh untuk meminta pertanggungjawaban perusahaan atas kekerasan yang mereka lakukan. Menurutnya, sistem hukum di negara berkembang seringkali tidak bisa melindungi masyarakat dari berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan besar sehingga yurisdiksi internasional diperlukan untuk hal tersebut. Perjanjian harus mencakup perusahaan multinasional dan perusahaan lain yang memiliki karakter transnasional. Perjanjian tersebut harus memastikan dan secara efektif mengimplementasikan keutamaan hukum HAM internasional atas kegiatan ekonomi. Individu dan komunitas juga memiliki hak untuk mencari ganti rugi atas pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa mereka.
Sesi ketiga membahas mengenai LBI dan akuntabilitas perusahaan dari perspektif masyarakat yang terdampak di pelbagai sektor, di antaranya kaum miskin kota, perkebunan sawit, dan petani. Sesi ini sangat menggugah peserta karena pemapar merupakan masyarakat yang terdampak langsung dari praktik perusahaan yang melakukan pelanggaran HAM. Dua orang perempuan dari Marunda, Jakarta Utara menceritakan mengenai kondisi diskriminasi atas air bersih yang mereka alami yang menurut mereka akar masalahnya adalah privatisasi pengelolaan pelayanan air di wilayah mereka. Selain itu, Sawit Watch memaparkan tentang diskriminasi di perkebunan sawit. Selain kerusakan lingkungan, penghilangan hak-hak masyarakat adat, dan eksploitasi buruh, perusahaan perkebunan sawit telah menyeret masyarakat sekitar perkebunan ke dalam hutang yang tak terbayar seumur hidup. Ini dilakukan perusahaan melalui kerjasama ekonomi yang ditawarkan perusahaan sawit kepada masyarakat yang dinamakan “kemitraan”. Sawit Watch bahkan menduga kondisi ini telah memenuhi kriteria debt bondage yang dirumuskan ILO. Serikat Petani Indonesia (SPI) juga menjelaskan tentang apa yang dialami oleh para petani. Para petani selalu berhadapan dengan perusahaan. Perusahaan melakukan segala usaha untuk mengusir petani, memobilisasi preman untuk berhadapan dengan petani, menggunakan polisi, dan mengkriminalisasi pengurus SPI. Salah satu perusahaan yang dihadapi SPI adalah PT. Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (PT. REKI) yang menghimpun dana dari Jerman. Perwakilan Filipina juga menceritakan mengenai kondisi perburuhan di negaranya. Perusahaan menggunakan subkontrak sehingga buruh menerima upah dari subkontraktor, bukan dari perusahan. Upah dan tunjangan tidak dibayar, perumahan disediakan tapi tidak layak huni, dan pemutusan hubungan kerja sepihak. Praktik ini terjadi di perusahaan Coca-Cola. Perwakilan Bangladesh menjelaskan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di negaranya, di antaranya pelanggaran HAM pada saat akuisisi tanah untuk pembangunan pembangkit listrik dan dampak buruk pembangunan terhadap hubungan sosial masyarakat. Peserta terakhir dari Nepal memaparkan pelanggaran-pelanggaran HAM dalam hak akses terhadap air minum dan irigasi.
Di sesi keempat, peserta dibagi menjadi dua kelompok diskusi. Breakout room yang pertama membahas mengenai hak-hak korban dan masyarakat terdampak. Ruangan pertama membahas mengenai identifikasi berbagai praktik pelanggaran HAM yang dialami masyarakat dan/atau masyarakat adat yang dilakukan oleh perusahaan baik dalam bentuk perampasan lahan, eksklusi, perampasan SDA yang menargetkan kelompok rentan dan penciptaan ketergantungan terhadap perusahaan. Kesimpulan dalam diskusi ini adalah: 1) Pelanggaran HAM di negara-negara anggota LBI masih terus terjadi; 2) Penyelesaian kasus-kasus masyarakat masih rendah sehingga perlu mencatat kisah sukses dan semi-sukses sebagai bahan advokasi dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, terutama yang dilakukan oleh perusahaan transnasional; 3) Masih ada hal-hal yang belum diatur oleh undang-undang dan peraturan di setiap negara, hal-hal tersebut perlu dicatatkan untuk didorong ke dalam LBI.
Breakout room kedua membahas tentang identitas hukum dan tanggung jawab dari LBI. Pada Ruang 2 ini, moderator dan peserta mendiskusikan pentingnya bagi perusahaan induk dari suatu anak perusahaan untuk bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan oleh anak perusahaan di tingkat domestik. Peserta diskusi mendesak induk maupun anak perusahaan menjadi akuntabel. Semua pelaku usaha, mulai rantai nilai, perusahaan, maupun subkontraktor harus akuntabel terhadap pelanggaran yang mereka lakukan.
Pada sesi selanjutnya, Joseph Purugganan dari Focus on the Global South dan ATF menjelaskan tentang strategi kampanye dan advokasi di tingkat regional dan nasional. Secara khusus, sesi ini memaparkan mengenai pengidentifikasian program kerja bersama menuju proses negosiasi LBI selanjutnya.
Di sesi pleno yang juga sebagai penutup forum, Tony Salvador dan Henry Simarmata memberikan sintesa terhadap panel 1 dan 2 breakout room. Selain mensintesakan hasil dari diskusi panel-panel, pemapar dan peserta diskusi juga menekankan bahwa selain pentingnya membuat kertas posisi mengenai LBI, kita juga harus memperbarui materi kampanye, termasuk bagaimana kita melihat kondisi ekonomi dan politik global saat ini. Pemapar juga menekankan bahwa isu LBI maupun akuntabilitas perusahaan merupakan isu lintas sektoral yang dapat mengkritisi berbagai forum dunia, seperti UNFSS, Food System Summit, dan sebagainya.
Anggota Koalisi IFP (Indonesia Focal Point for Corporate Accountability):
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), FIAN Indonesia, Solidaritas Perempuan, KontraS, ELSAM, Lokataru, IILH-apintlaw, Sawit Watch, Bina Desa.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Indraini Hapsari (i.hapsari@fian-indonesia.org) dan Fatilda Hasibuan (fatildahasibuan@gmail.com)