INDONESIA FOCAL POINT FOR CORPORATE ACCOUNTABILITY MELAKUKAN AUDIENSI DENGAN KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI MEMBAHAS PERSOALAN TANGGUNGJAWAB KORPORASI DALAM AKTIVITAS BISNIS DAN HAM
Jakarta, 25 Oktober 2022 – Kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Focal Point (IFP) for Corporate Accountability melakukan audiensi dengan Direktur HAM dan Kemanusiaan, Direktorat Jenderal Kerja Sama Multilateral, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Achsanul Habib. Audiensi ini bertujuan mendapatkan pemutakhiran informasi dari Pemerintah Indonesia terkait pembahasan Legally Binding Instrument (LBI) praktik bisnis dan HAM khususnya tentang aturan hukum mengikat atas pertanggungjawaban korporasi dalam berbisnis yang tengah dibahas dalam pembahasan sesi ke-8 open-ended intergovernmental working group (OEIGWG) legally binding instrument di Jenewa, Swiss. Turut hadir dalam audiensi ini perwakilan dari IFP, yaitu: Salsabila, Muslim Silaen, Rahmat Maulana Sidik dan Betty Tiominar.
Perwakilan IFP menyampaikan beberapa konsentrasi isu terkait bisnis dan HAM, diantaranya: Indonesia harus terlibat aktif dalam memainkan perannya di negosiasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Legally Binding Instrument (UN LBI) on Business and Human Rights sebagai konsekuensi logis yang memberikan dukungan penuh pada Resolusi 26/9 itu. Indonesia memiliki peran sangat penting dalam negosiasi ini karena terpilih sebagai Friends of Chairs (FoC) bersama empat negara lainnya yaitu, Azerbaijan, Prancis, Portugal, dan Uruguay. Posisi ini bisa digunakan oleh Pemerintah untuk menarik lebih banyak dukungan dari negara-negara anggota PBB lainnya agar terlibat dalam proses dan setuju dengan LBI ini. Selain sebagai FoC, posisi Indonesia sebagai negara yang menggagas Gerakan Non Blok (GNB) bisa digunakan juga untuk mengkonsolidasikan negara-negara GNB agar mendukung proses LBI.
Dalam tanggapannya, Bapak Achsanul Habib, menyatakan bahwa pembahasan UN LBI juga merupakan hal yang menjadi perhatian pemerintah Indonesia Tantangan terbesar dalam proses LBI saat ini adalah kecenderungan penurunan anggota PBB yang tertarik untuk terlibat dalam proses penyusunan instrumen ini. Dalam dua tahun terakhir, menurut Beliau, dari 90 negara anggota PBB yang awalnya setuju dengan pembahasan LBI telah berkurang menjadi sekitar 60 negara. Tanpa keterlibatan aktif dari sebagian besar anggota PBB –yang berjumlah 193 negara– LBI tidak bisa menjadi instrumen yang mengikat seperti yang diharapkan bersama.
Kepentingan yang berbeda di antara negara-negara Gerakan Non Blok menjadi salah satu kendala juga bagi Pemerintah Indonesia untuk memperkuat proses penyusunan LBI. Hal lain, absen-nya negara-negara maju, anggota PBB, dalam proses penyusunan LBI dilihat juga sebagai salah salah satu faktor yang memperlambat proses penyusunan LBI di PBB. Meski demikian, Pemerintah Indonesia tetap optimis konvensi ini bisa disahkan. Meski membutuhkan waktu yang lama, Pemerintah Indonesia akan terus berupaya melakukan pendekatan kepada negara-negara anggota PBB agar mau terlibat aktif dalam proses penyusunan LBI.
Pemerintah Indonesia beranggapan, Instrumen Hukum yang mengikat bagi perusahaan transnasional yang beroperasi di suatu negara agar tidak melanggar HAM dalam pelaksanaan bisnisnya merupakan hal penting. Sembari mendorong pengesahan LBI, pemerintah Indonesia saat ini sedang menyiapkan Strategi Nasional HAM dengan mengacu pada peraturan dan kebijakan Nasional.
Diakhir audiensi Direktur HAM dan kemanusiaan memberikan beberapa catatan kepada koalisi untuk terus bersama-sama mendorong pengesahan instrumen ini, dengan memperhatikan kekhasan Indonesia, seperti: 1) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang banyak berbasis rumah tangga, 2) adanya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbeda dengan perusahaan transnasional; dan 3) bagaimana menerapkan hukum nasional dalam hukum ekstrateritorial agar sanksi bagi perusahaan transnasional yang melanggar HAM dapat dihukum dengan peraturan perundang-undangan Nasional.
Untuk itu, penting bagi pemerintah dan Organisasi Masyarakat Sipil, menyuarakan dan melakukan sosialisasi lebih luas kepada semua pihak yang akan terdampak dalam proses ini. Sehingga prinsip-prinsip HAM bisa dikenali oleh semua pihak, baik Pemerintah Nasional dan daerah, Perusahaan-perusahaan Swasta, lembaga Yudikatif nasional dan daerah, masyarakat sipil dan semua pihak yang terkait.
Sebagai penutup, perwakilan IFP memberikan dokumen catatan kritis kepada Direktur HAM dan Kemanusiaan, Kementerian Luar Negeri RI sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam proses negosiasi LBI di UN nantinya.
Anggota Koalisi IFP (Indonesia Focal Point for Corporate Accountability):
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA), Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), FIAN Indonesia, Solidaritas Perempuan, KontraS, ELSAM, Lokataru, IILH-apintlaw.
Info lebih lanjut hubungi :
- Rahmat Maulana Sidik, rahmat.maulana@igj.or.id
- Muslim Silaen, muslim.silaen@igj.or.id
- Betty Tiominar, b.nababan@gmail.com
- Salsabila Putri, bila@solidaritasperempuan.org