MENDORONG PERWUJUDAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN LEGALLY BINDING INSTRUMENT UNTUK MENGHENTIKAN PENYALAHGUNAAN KEKUASAAN OLEH KORPORASI (CORPORATE ABUSE)
Swiss, 29 Oktober 2022 – FIAN Indonesia mengikuti Open Ended Intergovernmental Working Group (OEIGWG) on Transnational corporations and other business enterprises with respect to human rights atau kelompok kerja antar-pemerintah tentang korporasi internasional dan perusahaan bisnis lainnya yang sehubungan dengan hak asasi manusia.
Rangkaian negosiasi ini merupakan tindak lanjut dari Resolusi No. 26/9 dan bertujuan untuk menghasilkan legally binding instrument dalam bentuk traktat (treaty) atau instrumen yang mengikat secara hukum di tingkat internasional untuk diadopsi di negara-negara anggota. LBI ini berintensi untuk mengurangi dan mencari perbaikan ataupun penanggulangan (remedy) bagi korban pelanggaran HAM yang disebabkan oleh perusahaan transnasional atau perusahaan bisnis lainnya.
Meskipun sudah terdapat UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), implementasinya di beberapa negara tidak cukup kuat untuk memegang akuntabilitas korporasi karena sifatnya yang sukarela (voluntary). Regulasi yang menguntungkan korporasi merupakan hard law (seperti WTO Agreements/Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia, FTAs/Perjanjian Perdagangan Bebas) sementara regulasi yang melindungi hak asasi manusia merupakan soft law (seperti UNGP, Panduan OECD/OECD Guidelines). Adanya ketidakseimbangan ini kerap menjadi celah bagi perusahaan transnasional untuk kepentingan mereka.
Pada tanggal 24-29 Oktober 2022 ini, negosiasi memasuki sesi ke-8 atau delapan tahun setelah sesi OEIGWG pertama diselenggarakan. Draf telah memasuki perubahan ketiga (third draft) dengan masukan komentar dari negara-negara dan seharusnya menjadi basis negosiasi dalam sesi kedelapan ini. Namun, terdapat dokumen lain yang dipertimbangkan, yakni dokumen proposal chair (suggested chair proposals for select articles on LBI).
Organisasi masyarakat sipil, termasuk FIAN Internasional, beranggapan bahwa:
- Dokumen proposal chair ini tidak sejalan dan sesuai dengan metodologi yang demokratis sebagaimana yang disepakati pada sesi ke-7. Draf LBI revisi ketiga dengan komentar dari negara dihasilkan dari proses yang panjang, bukan hanya dengan negara, tetapi juga masyarakat sipil. Namun, proposal chair yang tidak jelas bagaimana proses penyusunannya, siapa saja yang terlibat, atau mengapa proposal ini disubmisi pada bulan September 2022, sebulan sebelum penyelenggaraan sesi kedelapan.
- Dokumen proposal chair ini tidak sejalan dan sesuai dengan metodologi yang demokratis sebagaimana yang disepakati pada sesi ke-7. Draf LBI revisi ketiga dengan komentar dari negara dihasilkan dari proses yang panjang, bukan hanya dengan negara, tetapi juga masyarakat sipil. Namun, proposal chair yang tidak jelas bagaimana proses penyusunannya, siapa saja yang terlibat, atau mengapa proposal ini disubmisi pada bulan September 2022, sebulan sebelum penyelenggaraan sesi kedelapan.
Konsekuensinya, jika dokumen proposal chair ini turut dipertimbangkan, maka akan lebih besar peluang dipilihnya dokumen proposal chair yang merupakan regresi dari pasal-pasal yang termaktub di draf ketiga (dengan komentar negara-negara) yang berpihak pada hak asasi manusia. Di akhir sesi/kesimpulan, tidak ada kejelasan apakah dokumen ini masih akan tetap dipakai sebagai dasar untuk membuat draf LBI yang akan dinegosiasikan di sesi kesembilan (2023).
Untuk Indonesia sendiri, saat ini Indonesia menjadi satu dari beberapa negara (Uruguay, Azerbaijan, Prancis, Portugal) yang terpilih sebagai the Friends of the Chair (FotC). Tujuan FoTC adalah untuk terlibat di dalam konsultasi antarsesi untuk mematangkan draf yang ada dengan representasi regional yang berimbang. Namun, hingga saat ini, belum ada transparansi soal bagaimana FoTC ini akan berkontribusi. Ditambah lagi, keberadaan FoTC sendiri juga problematik: (1) dalam konteks diplomatis, perumusan rancangan draf ada di segelintir negara di saat yang dicapai seharusnya adalah konsensus dari banyak negara; (2) tidak ada perwakilan negara dari Afrika di dalam kelompok ini meskipun di hari keempat sesi (Kamis, 27 Oktober 2022), Chair mengumumkan bahwa Kamerun menyatakan ketertarikannya turut bergabung sebagai negara perwakilan dari Afrika.
Indonesia sebagai negara juga tetap dalam sikap mereka sebagaimana dalam beberapa sesi sebelum sesi kedelapan, dengan menekankan bahwa lingkup LBI ini adalah perusahaan transnasional/multinasional (TNC) atau bisnis dengan karakter transnasional saja sehingga tidak berlaku pada bisnis-bisnis domestik (misalnya: BUMN/State-owned Enterprise ataupun usaha mikro, kecil, dan menengah). Indonesia juga mengapresiasi adanya dokumen proposal Chair, meskipun mempertanyakan bagaimana penerapan dan penggunaannya nanti, dan secara implisit lebih mendorong dokumen revisi ketiga. Posisi Indonesia ini diutarakan pada hari pertama dalam agenda General Statement (Pernyataan Umum). Sesi kedelapan berlangsung hingga hari Jumat, 29 Oktober 2022 dengan agenda pembahasan pasal 6-13, yang ditutup dengan beberapa kesimpulan dan rekomendasi sebagai panduan untuk sesi berikutnya.
Adapun, organisasi masyarakat sipil yang hadir dalam sesi kedelapan menyatakan bahwa masih terdapat tidak adanya transparansi soal proses, ketidakseimbangan representasi wilayah, dan penyempitan ruang partisipasi menilik masyarakat sipil tidak diizinkan untuk memberikan pernyataan atau respons dalam sesi kesimpulan dan rekomendasi di hari terakhir.
Bacaan Lanjutan :