Jakarta, 16 Oktober 2024. Dalam rangka menyambut peringatan Hari Pangan Sedunia, FIAN
Indonesia mengadakan tiga (3) rangkaian diskusi yang membahas seputar pemenuhan hak atas
pangan dan gizi bangsa Indonesia. Diskusi pertama dalam rangkaian diskusi ini sudah
berlangsung pada hari Selasa, 15 Oktober 2024 kemarin dengan judul, “Tanggung Jawab Negara
dalam Pemenuhan Hak Atas Pangan dan Gizi.” Terdapat tiga (3) buah pokok diskusi ini. Pertama,
situasi pangan dan gizi nasional yang dipaparkan oleh Ahmad Arif (Jurnalis Kompas). Kedua,
kerangka hukum hak atas pangan dan gizi yang dijelaskan oleh Ade Mutaqin (FIAN Indonesia).
Ketiga, konsep inti pelaksanaan hak atas pangan dan gizi yang disampaikan oleh Mufida (FIAN
Indonesia).
Ahmad Arif (Jurnalis Kompas) membuka diskusi ini dengan pemaparannya yang bertajuk,
“Masalah Pangan di Indonesia dan Solusi Palsu Food Estate.” Dalam pemaparannya, Ahmad Arif
menyampaikan dengan tegas bahwa: sistem pangan bangsa Indonesia masih bermasalah dari
mulai produksi (seperti adanya trend penyeragaman produksi dan monokultur), proses (seperti
menguatnya pangan olahan/industri) konsumsi (seperti tingginya sisa pangan), sampai distribusi
(seperti rantai pasok yang bermasalah). Kondisi sistem pangan diperparah dengan dibukanya
“pintu gerbang” impor beras selebar-lebarnya oleh pemerintah. Salah satu akibatnya adalah
terjajahnya pangan lokal di daerah Kepulauan—pengeluaran untuk membeli beras mendominasi.
Lebih lanjut, Ahmad Arif menilai, solusi yang dinubuatkan oleh pemerintah terhadap persoalan ini
adalah solusi palsu. Pemerintah justru menggelontorkan dana besar untuk Proyek Food Estate.
Dalam proyek ini, pemerintah merubah sistem pangan masyarakat lokal dan memaksa mereka
mengkonsumsi bahan pangan yang didatangkan dari luar. Walhasil, terjadi perubahan pola
konsumsi secara masif, tapi pola produksi masyarakat justru mengalami kemunduran. Menjelang
akhir dari pemaparannya, Ahmad Arif menceritakan kehidupan masyarakat Boti di Pulau Timor
yang lestari. Mereka mempertahankan dengan teguh budaya pangan lokal mereka dari segala
bentuk intervensi “tangan-tangan” pemerintah. Masyarakat Boti mengkonsumsi bahan pangan
yang mereka tabur dan tuai sendiri. Dengan begitu, meskipun iklim di daerah tersebut kering, dan
tanahnya pun berkapur—masyarakat Boti bisa berdaulat atas pangan mereka. Ahmad Arif
menutup pemaparannya dengan mengatakan bahwa, Indonesia seharusnya bisa kenyang tidak
hanya dengan beras dan terigu.
Diskusi ini berlanjut dengan penjelasan Ade Mutaqin mengenai Kerangka Hukum Hak atas
Pangan dan Gizi. Ade Mutaqin menerangkan, pada tingkat internasional, hak atas pangan dan gizi
bersandar pada DUHAM pasal 25 ayat 1, “Setiap orang berhak atas penghidupan yang layak, dan
pangan termasuk di dalamnya,” serta pada Kovenan Ekosob, bahwa standar hidup yang layak
bertaut dengan hal sandang, papan, dan pangan. Sedangkan pada tingkat nasional, pembahasan
soal hak atas pangan dan gizi tidak dinyatakan secara eksplisit dalam aturan perundang-
undangan—berbeda dengan konstitusi yang berlaku di India, Afrika Selatan, dan Filipina.
Misalnya, dalam pasal 27 ayat 2 Undang-undang 1945, hanya dinyatakan secara implisit bahwa
tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dimana komponen
pangan termasuk di dalamnya.”
Menurut Ade Mutaqin, aturan perundang-undangan di Indonesia justru memuat beberapa butir
potensi negatif atas pemenuhan hak atas pangan dan gizi. Sebagai contoh, undang-undang
perkebunan, undang-undang pengadaan tanah, dan proyek food estate. Realita ini tentu dapat
menjadi “peluang” pelanggaran terhadap penghormatan hak atas pangan dan gizi di Indonesia.
Padahal, sudah sepantasnya Negara menghormati hak atas pangan dan gizi warga negaranya, dengan: (1) memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan
dengan cara mereka sendiri; (2) mencegah perampasan tanah masyarakat, karena tanah
berkaitan erat dengan hak atas pekerjaan dan pendapatan yang layak, dan; (3) memastikan bahan
pangan aman dan sehat.
Dalam penjelasan mengenai konsep inti hak atas pangan dan gizi oleh Mufida, disampaikan
bahwa Negara memiliki kewajiban untuk melakukan realisasi hak atas pangan dan gizi dengan
lima konsep inti, yaitu tindakan pelaksanaan kewajiban HaPG dilakukan dalam dua proses: (i)
pelaksanaan secara bertahap (progressive realization); dan (ii) pelaksanaan perlindungan secara
langsung (immediate protection); non-diskriminasi; larangan langkah retrogresif berupa tindakan
atau upaya yang mengakibatkan memburuknya tingkat pemenuhan HaPG, kewajiban inti minimal
untuk menjamin pemenuhan, setidaknya pada tingkat terendah seperti bebas dari kelaparan dan
terpenuhinya aspek ketersediaan dan keterjangkauan; dan konsep memaksimalkan sumberdaya
yang tersedia. Komite PBB sendiri menyatakan bahwa pelanggaran hak atas pangan dan gizi
terjadi ketika suatu negara gagal untuk memastikan kepuasan paling tidak pada tingkat esensi
minimum yang diperlukan untuk bebas dari kelaparan. Secara umum, Negara dapat dikatakan
telah melakukan pelanggaran hak atas pangan dan gizi ketika secara aktif ataupun pasif atau
melakukan pengabaian maupun melalaikan kewajiban tersebut.
Mufida, Peneliti FIAN Indonesia dalam pemaparannya kemudian menegaskan bahwa
memaksimalkan sumberdaya tidak berarti melakukan eksploitasi habis-habisan sumber daya
alam. Kemudian, disampaikan beberapa contoh upaya yang dilakukan Negara mengacu pada
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) dan menunjukkan kontradiksi agenda negara
dalam upaya realisasi hak atas pangan dan gizi. Menurutnya, “Kita semua ini harus Jeli melihat
proyek pangan yang teriak ‘untuk pangan’ tepat di hadapan kematian sistem pangan lokal. Food
estate misalnya. Lebih jauh, alih-alih melakukan proyek bercorak agribisnis yang memperburuk
kondisi penikmatan hak atas pangan dan gizi, Negara harus mampu menunjukkan langkah-
langkah progresif yang menjawab pertanyaan: bagaimana agar setiap warga negara mampu
mengakses sumber nafkah sesuai dengan kondisinya? bagaimana agar mampu memenuhi
kebutuhan dirinya dan keluarganya dengan hasil kerja yang dilakukan? Dan bagaimana agar
mampu mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada situasi bencana dan darurat lainnya,
termasuk ketika kehilangan sumber nafkah?”
Diskusi ini ditutup dengan penjelasan Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia
bahwa pada prinsipnya, hak atas pangan dan gizi adalah hak asasi yang mendasar dan
fundamental karena terkait dengan hak atas kehidupan, sehingga hak atas pangan tidak bisa
dikurangi, dibatasi bahkan dihilangkan oleh Negara. Oleh karena itu, perwujudan hak atas pangan
dan gizi adalah keseriusan pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Beberapa pertanyaan penting
untuk kita renungkan bersama adalah mengenai, “Bagaimana justisiabilitas hak atas pangan dan
gizi di Indonesia?” “Bagaimana kita bisa mendorong dan menunjukan ada pelanggaran hak atas
pangan dan gizi di masyarakat Indonesia baik dalam konsumen, produsen pangan. Termasuk
negara hadir memberikan fasilitas dan infrastruktur kepada masyarakat, baik dalam distribusi
pangan hingga memastikan pangan yang hadir ke piring masyarakat adalah pangan yang sehat
dan bergizi.”
Untuk materi presentasi dari masing-masing narasumber dapat diakses pada tautan berikut ini:
https://bit.ly/MateriDiskusiBulanPangan1FIANIndonesia
Video diskusi tersebut juga dapat diakses pada:
https://bit.ly/VideoDiskusiBulanPangan1FIANIndonesia
Narahubung dapat menghubungi :
Hana Saragih, Staf Riset dan Advokasi, 0822 4900 0047, hanasagih@fian-Indonesia.org
Mufida Kusumaningtyas, Staf Riset dan Advokasi, 0822 4900 0047. mufida@fian-
Indonesia.org