Jakarta, 9 Desember 2021 – Merespon temuan Ombudsman bahwa pupuk bersubsidi memiliki potensi maladministrasi, yakni:
- Sasaran Petani/Kelompok Tani penerima
Penentuan kriteria dan syarat petani penerima Pupuk Bersubsidi saat ini tidak diturunkan dari rujukan Undang Undang yang mengatur secara langsung Pupuk Bersubsidi yaitu UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani dan UU No 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
- Akurasi data penerima
Pendataan petani penerima Pupuk Bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan ketidakakuratan pendataan. Hal ini berdampak pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran Pupuk Bersubsidi.
- Mekanisme distribusi
Terbatasnya akses bagi Petani untuk memperoleh Pupuk Bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.
- Efektivitas penyaluran
Penyaluran belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik (kemudahan akses, kemudahan pengawasan, kemudahan pertanggungjawasaban) dan prinsip 6 tepat: tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, tepat mutu.
- Pengawasan distribusi dan penyaluran
Belum efektifnya mekanisme pengawasan Pupuk Bersubsidi, sehingga belum tertanganinya secara efektif berbagai penyelewengan dalam penyaluran Pupuk Bersubsid
FIAN Indonesia mengurgensikan agar pemerintah menyegerakan langkah evaluasi dan melaksanakan saran dari Ombudsman terkait perbaikan pelayanan publik Pupuk Bersubsidi dalam rangka perlindungan petani, menjaga kesinambungan sistem budidaya pertanian, dan optimalisasi produksi pangan.
Apalagi, salah satu perhatian Ombudsman adalah alokasi pupuk terhadap kebutuhan yang rata-rata hanya mencapai 38% sedangkan pupuk non subsidi sulit dijangkau oleh petani. Ombudsman merekomendasikan untuk merombak kriteria penerima pupuk bersubsidi yang membagi berdasarkan tipe komoditas (pangan, hortikultura, dan komoditas strategis lainnya). Bahkan terdapat saran perbaikan untuk pendataan kebutuhan lahan atas pupuk setiap Petani dengan menggunakan perangkat uji tanah terstandardisasi sesuai karakteristik lahan, agar Pupuk Bersubsidi berjalan efektif dan berguna untuk kesinambungan sistem budidaya dan optimalisasi produksi pangan.
FIAN Indonesia memandang penting dua hal: Pertama, mendorong adanya badan pangan di daerah atau setidaknya di level desa dalam membantu pengawasan pupuk bersubsidi sebagai komponen penting dari sistem pangan di bagian hulu (input produksi). Badan pangan daerah memang tidak memiliki dasar regulasi sebagaimana Badan Pangan Nasional lewat Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021, tetapi ia disinggung dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagai “kelembagaan pangan masyarakat untuk meningkatkan produksi pangan” (Pasal 21) yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah. Oleh karena itu, kemungkinan pembentukan badan ini berada pada level daerah.
Badan Pangan Daerah dapat dikembangkan dari organisasi dan/atau norma penyelenggaraan pangan yang telah berlaku di masyarakat. FIAN Indonesia menulis bahwa badan ini harus terdiri dari elemen organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi yang mewadahi produsen pangan (petani, nelayan, masyarakat adat, dst), akademisi, pemerintahan, dan terutama representasi dari kelompok sosial yang rentan akan kondisi rawan pangan.
Kedua, mendorong kemandirian petani di bidang pupuk organik melalui pembagian pendidikan terkait pupuk organik/alami yang mandiri. Saat ini harus dipikirkan kemungkinan-kemungkinan apakah petani dapat bertahan sendiri dengan sumber daya sendiri tanpa bergantung pada subsidi atau pasar. Salah satu jawaban yang memungkinkan adalah dengan bergeser pada produksi pupuk organik buatan sendiri dari bahan-bahan yang tersedia di sekitar petani, tetapi ini tetap membutuhkan dukungan pemerintah, salah satunya melalui Badan Pangan Nasional yang punya kewajiban untuk mengoptimalkan ketersediaan pangan.
“Pembentukan Badan Pangan Nasional beberapa bulan yang lalu menjadi hal yang baik, meskipun dipertanyakan bagaimana ia mengatasi permasalahan yang terkait dengan pengawasan kebijakan pertanian-pangan, ketersediaan pangan di tingkat lokal, bahkan partisipasi publik yang mencakup petani sendiri, hal yang ternyata urgen melihat permasalahan pupuk bersubsidi dalam rangka produksi dan ketersediaan pangan,” jelas Gusti Nur Asla Shabia, Staf Riset dan Kampanye FIAN Indonesia. Menurutnya, “Badan Pangan Daerah merupakan inisiatif yang potensial untuk mengatasi maladministrasi pupuk karena selain bisa menjadi ruang untuk pendidikan lintas-sektor terkait pertanian alami, ia juga dapat menjadi watchdog atau berperan menjadi pemantau akuntabilitas bagi Pemerintah Daerah dan Pusat dengan turut membantu memantau, mengawasi, dan memetakan ketersediaan stok minimum pupuk di distributor dan pengecer tingkat kabupaten atau kecamatan. Sehingga badan ini bisa mendeteksi penyelewengan.”
Kemudian, posisi Badan Pangan Daerah di tingkat Pemerintah Daerah dapat pula menagih kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Derah untuk menghasilkan sarana produksi pertanian yang berkualitas (Pasal 19 UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani) dalam rangka mendukung pelatihan pembuatan pupuk organik mandiri bagi petani.
Oleh karena itu, FIAN Indonesia merekomendasikan bagi pemerintah terutama Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan PT Pupuk Indonesia (Persero), untuk:
- Segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam merespon saran perbaikan oleh Ombudsman RI;
- Mendorong kemandirian dan keberlanjutan pertanian petani kecil dengan memfasilitasi pendidikan dan pelatihan pupuk organik, dan mengalihkan Pupuk Bersubsidi menjadi Pupuk Organik Bersubsidi;
- Mendukung terbentuknya badan pangan daerah yang diinisiasi dan dibentuk secara bersama-sama oleh pemerintah daerah, petani/kelompok tani, organisasi masyarakat dalam rangka memajukan sistem budidaya pertanian pangan, optimalisasi produksi pangan, dan kesejahteraan produsen pangan.
Narahubung:
Gusti Nur Asla Shabia, Staf Riset dan Advokasi, 081283739421