Jakarta, 24 September 2025. FIAN Indonesia menegaskan kepada Presiden Prabowo untuk segera mereset ketimpangan dan ketidakadilan yang berkaitan dengan terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria pada 1960 atau saat ini berumur 65 tahun yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional, sebagai tonggak awal merombak ketidakadilan dan ketimpangan oleh kolonial dalam penguasaan sumber-sumber agraria baik tanah-air untuk pertanian, perikanan dan hutan. Upaya merombak struktur penguasaan agraria dilakukan dengan langkah : i. reforma agraria; ii. kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri; iii. pembatasan minimum luas tanah sebagai penerima reforma agraria untuk petani; serta iv. batas maksimum luas tanah yang boleh dipunyai. UU Pokok Agraria juga menegaskan pengakuan awal hak-hak asasi petani-nelayan-masyarakat adat sebagai produsen pangan. Namun kondisi produsen pangan khususnya petani kecil, nelayan kecil dan masyarakat adat semakin tragis menjadikannya kelompok yang paling terpinggirkan dalam sistem Pangan.
FAO dan lembaga internasional lain menegaskan dalam terbitan terakhirnya masih ada sekitar 17,7 juta orang (6,3% dari populasi) di Indonesia yang mengalami kekurangan gizi termasuk jumlah penduduk Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan yang sehat dan bergizi mencapai 43,5% atau mencapai 123.4 juta jiwa (FAO, SOFI 2025). Data terakhir Sensus Tani 2023 menunjukkan berkurang secara signifikan jumlah produsen pangan kecil seperti petani kecil. Produsen pangan skala kecil tetap menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dalam sistem pangan Indonesia, kondisi ini diperjelas Sensus Pertanian 2023, Di sisi lain, data penurunan jumlah produsen pangan menandakan kemunduran dalam implementasi Hak atas Pangan dan Gizi (RtFN). Jumlah usaha pertanian menurun sehingga saat ini terdapat Jumlah Usaha Pertanian mencapai 28.187.753 usaha pertanian, turun 7,45 persen dari tahun 2013 hinggal tahun 2025. Yang sangat mengkhawatirkan terjadi kemunduran dengan meningkatnya jumlah jumlah petani gurem sebanyak mencapai sekitar 17 juta jiwa.
RESET Ketimpangan agraria
Ketidakadilan dan ketimpangan agraria terus melebar dengan penguasaan segelintir pihak menguasai jutaan hektar, sementara jutaan keluarga petani menggarap lahannya tidak lebih dari 0,5 hektar. Di balik setiap pangan yang tersedia di piring kita, ada petani-nelayan yang terus berjuang menjaga kehidupan. Ironisnya, petani justru menjadi kelompok paling rentan kehilangan akses dan kendali terhadap tanah air, dan sumber daya produksi. Konflik agraria tidak kunjung reda: tanah petani dan wilayah adat dirampas melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) salah satunya adalah Kawasan sentra produksi pangan (KSPP/Food Estate) yang berjalan di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Papua Selatan, Bank Tanah, dan militerisasi pangan. Di sektor perikanan, akses nelayan terhadap laut dan wilayah tangkapnya juga dikapling oleh pengusaha. Sudah satu dekade keberadaan Gugus Tugas Reforma Agraria yang dibentuk Presiden, tidak membawa perubahan signifikan. Pasalnya sampai hari ini, jumlah petani gurem justru meningkat, dan penguasaan tanah semakin timpang. Alih-alih memperkuat hak petani, pemerintah, melalui UU Cipta Kerja—justru memperbesar monopoli tanah dan impor pangan yang mencekik produsen pangan skala kecil.
Pemantauan yang dilakukan oleh FIAN Indonesia bersama dengan WALHI Kalimantan Tengah, Solidaritas Perempuan Mamut Menteng, dan Yayasan Betang Borneo Indonesia—menemukan bahwa lebih dari 2.446,6 hektar lahan sawah tradisional dilepaskan pada skema Food Estate tanpa mekanisme Free, Prior, Informed Consent (FPIC) dan persetujuan oleh komunitas masyarakat adat maupun petani kecil¹. Hal ini menyebabkan hilangnya benih lokal dan pengetahuan gilir balik yang selama berabad memelihara kesuburan gambut—bahkan di salah satu desa yang menjadi lokus pemantauan, sebanyak 237 keluarga kehilangan kendali atas lahan—sebuah bentang agraria yang dahulu menjadi lumbung tiga musim. Lebih lanjut, sesak sempitnya lahan petani mendorong ketergantungan pangan impor dan pangan ultra-proses yang memicu biaya hidup melilit 70–100% pendapatan keluarga. Hingga bertambahnya beban perempuan adat, dimana mereka harus menanggung tanggung jawab gizi rumah tangga. Padahal, akses wilayah jelajah mereka, sumber protein nabati dan hewani—terbatas oleh peraturan pembatasan pembakaran lahan dan intrusi perusahaan sawit.
Proyek Makan Bergizi Gratis yang dijanjikan akan menyerap 80% dari produksi pangan masyarakat pun juga tidak mewujud dengan baik. Sebab faktanya, militer lah yang berperan aktif dalam penyediaan bahan pangan dalam proyek ini. Hal ini tampak dari setidaknya 3 (tiga) aspek keterlibatan militer dalam proyek ini², pertama menyiapkan 599 dapur pada tahap pertama untuk mendukung keberlangsungan proyek, yang disiapkan oleh masing-masing matra TNI, yaitu TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara³. Kedua, menyangkut operasionalisasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berkenaan dengan penyediaan lahan untuk pembangunan SPPG. Terakhir, melakukan monitoring dan evaluasi. Berkenaan dengan hal ini, pemerintah melalui Kementerian Pertahanan dan bekerjasama dengan Universitas Pertahanan, menerbitkan Program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI). Tercatat, sudah kebih dari tiga puluh ribu siswa mengikuti program ini (di dalamnya meliputi meliputi pendidikan dasar militer dan pelatihan manajerial). Program ini diharapkan dapat mendukung pertahanan negara, menggerakkan ekonomi masyarakat lokal, dan mengatasi persoalan stunting dan gizi buruk. Terbentang luasnya jarak antara produksi pangan dengan konsumsi pangan pada Proyek Makan Bergizi Gratis ini, menyebabkan meningkatnya kasus keracunan dari pelaksanaan proyek. Kasus keracunan tersebut menunjukkan pola berulang: kualitas pangan yang tidak terjamin, makanan yang tidak dimasak dengan baik, hingga kontaminasi bakteri berbahaya seperti Salmonella, E.coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan bahkan jamur Candida tropicalis. Dengan demikian, proyek ini terlihat seperti pertarungan antara ambisi politik, kebutuhan riil masyarakat, dan kompleksitas tata kelola pangan di Indonesia.
Hari Tani Nasional bukan sekadar seremoni. Ini adalah momentum mendesak negara untuk menjalankan Reforma Agraria—bukan proyek bagi-bagi lahan untuk korporasi, tetapi penegasan hak rakyat produsen pangan atas akses dan kontrol atas tanah, air, dan sumber penghidupan. Tanpa keadilan agraria, hak atas pangan hanyalah janji kosong.
¹Laporan Pemantauan ini terbit dengan judul, “Ikei Dia Tau Malan Hindai: Bukti Pelanggaran Hak atas Pangan dan Gizi di Kalimantan Tengah,” yang selengkapnya dapat diakses pada tautan berikut ini: https://fian-indonesia.org/ikei-dia-tau-malan-hindai-bukti-pelanggaran-hak-atas-pangan-dan-gizi-di-kalimantan-tengah/
²Tempo. 3 Januari 2025. “TNI Siapkan 599 Lokasi Dapur untuk Dukung Program Makan Bergizi Gratis.” Diakses Agustus 2025, tautan: https://www.tempo.co/politik/tni-siapkan-599-lokasi-dapur-untuk-dukung-program-makan-bergizi-gratis-1189225
³Rinciannya adalah sebagai berikut:
TNI AD menyiapkan 514 titik lokasi dapur;
TNI AL menyiapkan 96 titik lokasi dapur;
TNI AU menyiapkan 7 titik lokasi dapur.
Ibid.
Untuk informasi selanjutnya dapat menghubungi:
Marthin Hadiwinata, Koordinator Nasional FIAN Indonesia, melalui +62 822-4900-0047 atau marthin.hadiwinata@fian-indonesia.org
Hana Saragih, Staf Riset dan Advokasi FIAN Indonesia, 082249000047, hanasaragih@fian-indonesia.org
Tsamrotul Qibtia, Staf Kampanye FIAN Indonesia, 082249000047, ibitchan@fian-indonesia.org