Siaran Pers Komite Rakyat Untuk Transformasi Sistem Pangan – Tanaman Transgenik Bukan Solusi
Jakarta, 23 September 2022 – Komite Rakyat untuk Transformasi Sistem Pangan (TERASI Pangan) menolak kebijakan Pemerintah untuk mendorong petani menanam kedelai produk rekayasa genetika (PRG) atau genetically modified organism (GMO) atau transgenik. Penanaman kedelai transgenik tidak menjawab masalah rendahnya produksi pertanian kedelai di Indonesia.
Dalam rapat pembahasan tata kelola dan peningkatan produktivitas kedelai yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo (19/9), disampaikan keinginan pemerintah untuk meningkatkan produktivitas kedelai dalam negeri yang saat ini semakin tergantung pada impor kedelai. Menurutnya, dengan kedelai transgenik produksi kedelai petani dapat meningkat dari 1,6-2 ton per hektare menjadi 3,5-4 juta ton per hektare. Untuk itu, pemerintah menyiapkan anggaran sebesar Rp400 miliar.
TERASI Pangan berpendapat, usulan pemerintah untuk menanam kedelai PRG ini tidak menyelesaikan masalah dasar dalam isu kedelai dan berpotensi menciptakan masalah baru bagi petani dan lingkungan. Pertama, belum ada satu pun jenis kedelai transgenik yang telah mendapatkan sertifikat keamanan lingkungan sesuai Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. Selain itu, kedelai transgenik juga perlu menjalani uji penanaman seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang No. 22 tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.
Kedua, rendahnya produksi pertanian kedelai di Indonesia, karena masalah yang diciptakan oleh pemerintah akibat masuknya kedelai impor. Banjir impor kedelai membuat harga kedelai lokal tertekan, sehingga minat petani menanam kedelai rendah. Karena itu yang yang harus dilakukan pemerintah adalah melindungi petani Indonesia, misalnya dengan menerapkan tarif bea masuk kedelai impor. Tarif bea masuk kedelai ada 0 persen. Ketiga, Pemerintah juga seharusnya tidak selalu mengandalkan harga kedelai internasional sebagai harga acuan pembelian kedelai lokal. Karena harga internasional bisa ditetapkan pasokan dari produsen kedelai terbesar di dunia, yang didominasi oleh Brazil dan Amerika Serikat. Masing memproduksi 134 juta metrik ton, dan 120 juta metrik ton di tahun 2021/2022. Artinya, jika pun petani di Indonesia menanam kedelai dengan jumlah lebih banyak, sementara tidak ada jaminan harga, maka dipastikan akan ada kerugian besar bagi petani karena produsen besar dengan mudah menggelontorkan pasokan.
Keempat, yang selalu dilupakan oleh pemerintah adalah, kedelai transgenik dirakit tidak dimaksudkan untuk peningkatan hasil, tetapi tahan pada herbisida, dan tahan pada hama satu hama tertentu. Karena itu, justru penanaman tanaman transgenik PRG akan meningkatkan penggunaan herbisida, dan pestisida lainnya, karena hama-hama non target akan meningkat. Ini akan menimbulkan ketergantungan baru petani pada perusahaan-perusahaan produsen bahan kimia pertanian (agrochemicals) dan mempromosikan pertanian monokultur industrial.
Selain itu, tanaman PRG berpotensi menghilangkan keanekaragaman hayati benih tanaman pangan yang ada di Indonesia, khususnya jenis kacang-kacangan. Pengetahuan perempuan dan petani terkait pengolahan jenis tanaman kacang-kacangan pun ikut hilang jika benih tanaman pangan tersebut tidak lagi ditanam oleh masyarakat dan petani di Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas, TERASI Pangan yang merupakan koalisi dari organisasi, petani, nelayan,
buruh, pembela HAM:
- menolak tegas keinginan pemerintah untuk mendorong petani menanam benih transngenik atau
PRG dengan alasan apapun. - Menuntut pemerintah untuk segera meredistribusikan tanah bagi petani untuk budidaya kedelai,
dan mendukung petani pemulia benih dalam berkreasi menciptakan benih kedelai lokal idaman
petani. - Mendesak pemerintah melakukan evaluasi atas Upsus Pajale (Upaya Khusus Padi Jagung,
Kedelai) yang menggunakan alokasi anggaran dan sumber daya pemerintahan yang besar karena
terbukti tidak mampu menjaga stabilisasi pasokan dan harga kedelai nasional.