Ditulis Oleh AHMAD ARIF dimuat di kompas.id pada 2 September 2024
Brasil sukses menjalankan program makan siang di sekolah untuk meningkatkan gizi anak sekaligus ekonomi petani.
Brasil dianggap sebagai negara yang sukses menyelenggarakan program makan gratis di sekolah untuk lebih dari 40 juta anak setiap hari. Tak hanya memperbaiki kualitas gizi anak, program ini juga meningkatkan ekonomi rumah tangga petani dengan mewajibkan minimal 30 persen anggaran untuk membeli bahan pangan dari petani lokal.
Brasil telah menyelenggarakan Program Pemberian Makanan Sekolah Nasional sejak tahun 1954. Negara itu rata-rata mengeluarkan 1,3 miliar dollar AS per tahun untuk program gizi siswa nasionalnya, yang dikenal sebagai Programa Nacional de Alimentação Escolar (PNAE).
Ada banyak laporan yang menyebutkan tentang keberhasilan Brasil menjalankan PNAE ini. Program Pangan Dunia PBB (WFP) menyebutkan, keberhasilan program makan di sekolah Brasil sebagai percontohan untuk negara lain.
Global Survey of School Meal Programs oleh The Global Child Nutrition Foundation (2021) menyebutkan, PNAE telah menyediakan menu makanan sehat untuk 40 juta anak di hampir 250.000 sekolah di seluruh negeri setiap hari. Bahkan, selama Covid-19, ketika pembelajaran tatap muka ditutup, program makan siang untuk anak-anak tetap berjalan. Secara khusus makanan sekolah disiapkan dan disediakan untuk diambil siswa atau orangtua dan dimakan di rumah.
”Berinvestasi dalam ketahanan pangan dan gizi bagi generasi muda merupakan investasi dalam pembangunan dan mengakhiri kesenjangan,” kata Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, dalam pidatonya saat ditunjuk sebagai Ketua Bersama The School Meals Coalition bersama Perancis dan Finlandia pada 20 November 2023.
Brasil telah menjadikan program makan siang di sekolah sebagai bagian dari upaya mengatasi kemiskinan, terutama di kalangan petani. Pada tahun 1990, 14,8 persen penduduk Brasil menderita kelaparan. Antara tahun 2004 dan 2013, Brasil berhasil memberantas kemiskinan menjadi 4,2 persen dari sebelumnya 9,5 persen.
Kemajuan selama periode ini membantu negara tersebut keluar dari Peta Kelaparan WFP pada tahun 2014. Transformasi ini diklaim banyak dipengaruhi oleh program pemberian makanan sekolah di negara tersebut.
Mengacu hasil PISA 2022, persentase anak-anak usia 15 tahun di Brasil yang melewatkan makan karena tidak punya uang sekitar 9 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara maju, seperti Amerika Serikat sebesar 13 persen. Di Indonesia, angkanya masih 20 persen.
Keterlibatan masyarakat sipil
Koordinator For the Right to Food & Nutrition (FIAN) Brasil Mariana Santarelli dalam diskusi daring yang diselenggarakan FIAN Indonesia, Jumat (30/8/2024), mengungkapkan, kunci keberhasian PNAE adalah adanya keterlibatan masyarakat sipil untuk menjalankan program ini, sekaligus mengawasi dan mengevaluasinya. Hal ini membuat program ini terus berjalan dengan sejumlah perbaikan.
”Program makan siang gratis ini merupakan proses panjang, terus dievaluasi dan diawasi. Ada banyak pihak berperan, selain pemerintah pusat, juga pemerintah daerah, di samping keterlibatan akademisi, masyarakat sipil, petani, dan masyarakat adat,” katanya.
Awalnya, program makanan sekolah Brasil dilakukan terpusat dari ibu kota, Brasilia. Badan federal membeli makanan dan mendistribusikannya menggunakan perusahaan jasa makanan besar dengan menu seragam ke seluruh negeri. Namun, kebijakan ini banyak dikritik karena tidak efektif dan membuka banyak celah korupsi.
Pada pertengahan 1990-an, pemerintah federal mendesentralisasikan program tersebut. Pemerintah Brasil kemudian menyediakan dana khusus untuk negara bagian berdasarkan jumlah siswa. Departemen pendidikan negara bagian bertanggung jawab membeli makanan. Namun, juru masak dan kepala sekolah dapat membuat menu tersendiri sesuai pedoman negara bagian dan bantuan ahli gizi.
Perubahan besar dalam PNAE ketika menu makan siang di sekolah ini kemudian direvisi untuk mempromosikan pola makan sehat anak dan sekaligus menguatkan ekonomi petani. ”Menu makan di sekolah harus makanan segar dan lokal,” katanya.
Sejak 2009, sebuah undang-undang baru telah mewajibkan setidaknya 30 persen dana federal untuk program makan di sekolah ini harus dialokasikan untuk membeli produk yang dipasok oleh pertanian skala kecil atau pertanian keluarga, dengan prioritas diberikan kepada pemasok lokal.
Hasilnya, pada tahun 2012, menurut laporan International Policy Center for Inclusive Growth, PNAE menyalurkan sekitar 500.000 dollar AS kepada petani lokal yang memasok buah-buahan segar, sayuran, susu, dan produk lainnya ke sekolah-sekolah. Meskipun beberapa negara bagian belum memenuhi persyaratan 30 persen, yang lain telah melampauinya.
”Tahun 2009 baru 8 persen bahan pangan untuk PNAE yang bersumber dari pangan lokal. Tahun 2022, sebanyak 40 persen diberi dari petani lokal,” kata Mariana.
Untuk menjamin kualitas makanan, setidaknya 8.000 ahli gizi dilibatkan untuk menyusun menu yang disesuaikan dengan kondisi di daerah. ”Ada larangan pangan olahan dan ultraolahan serta biofortifikasi untuk PNAE. Kami memprioritaskan pangan alami dan menghargai lebih untuk bahan makan organik yang disediakan petani,” katanya.
Menurut Mariana, larangan penggunaan makanan olahan dan ultraolahan didasari oleh masalah kesehatan. Adapun untuk makanan yang diperkaya dengan biofortifikasi bisa merusak keanekaragaman pangan dan kedaulatan pangan. ”Kalau menggunakan biofortifikasi akan tergantung pada perusahaan dan industri. Padahal, program makan siang ini juga digunakan untuk meningkatkan ekonomi petani. Saat ini, sebanyak 70 persen konsumsi di Brasil berasal dari lokal,” katanya.
Tantangan program makan siang
Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia mengatakan, Indonesia perlu belajar mengenai program makan di sekolah dari Brasil. “Rencana penerapan program makan di sekolah di Indonesia ini harus dilakukan hati-hati dengan melibatkan banyak pihak,” katanya.
Menurut Marthin, ada banyak tantangan yang bisa menggagalkan program makan di sekolah di Indonesia, antara lain proses perencanaan program tidak transparan dan tidak ada partisipasi publik yang bermakna. ”Tidak ada konsultasi publik dan informasi programnya seperti apa,” katanya.
Karena tidak ada konsultasi publik, menurut Marthin, akan ada banyak potensi masalah. Antara lain, potensi korupsi dan kebocoran. Hal ini bisa juga menjadi pintu masuk korporasi untuk mendapatkan keuntungan dengan mengorbankan kualitas gizi. ”Program ini juga belum terintegrasi dengan kurikulum pendidikan. Program serupa yang pernah dilakukan pada 2010-2011 itu sudah menyatakan pentingnya integrasi dengan kurikulum di sekolah,” tuturnya.
Sebagaimana diingatkan Mariana, perusahaan dan industri makanan selalu berusaha mencari celah untuk masuk ke dalam program makan di sekolah karena besarnya anggaran. Hal inilah yang kerap memicu praktik korupsi. ”Tentu ada masalah korupsi dalam program ini di Brasil. Hal itu biasanya terjadi saat pemerintah daerah melakukan pengadaan makanan tidak dari keluarga petani,” kata Mariana.
Meski demikian, tambah Mariana, pihaknya punya kontrol di level nasional. ”Selain itu, setiap daerah memiliki dewan sekolah yang merupakan perwakilan orangtua murid, guru, dan organisasi masyarakat sipil.”
Belajar dari Brasil, kita bisa melihat pentingnya keterlibatan semua pihak, terutama masyarakat sipil, tidak hanya dalam menjalankannya, tetapi juga mengawasinya.
Program ini juga bisa diintegrasikan dengan upaya meningkatkan ekonomi petani lokal. Syaratnya adalah memandatkan sumber pangan lokal dan hal ini hanya bisa terlaksana jika terdesentralisasi dengan pilihan menu yang melibatkan para ahli gizi.
Tautan artikel asli: https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/09/02/strategi-brasil-menjadikan-makan-di-sekolah-untuk-atasi-masalah-gizi-dan-kemiskinan